KOMPAS.com - Riset terbaru dari lembaga think tank Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan ketimpangan yang besar antara penduduk terkaya dengan mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam studi berjudul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin tersebut, Celios menemukan kekayaan 50 hartawan terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia.
Pajak Kekayaan 50 triliuner teratas di RI bahkan setara dengan 2,45 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia 2024.
Baca juga: Indeks Ketimpangan Gender Indonesia Konsisten Turun dalam 5 Tahun
Selain itu, kekayaan mereka jika ditotal sejajar dengan 4,11 persen dari Target Penerimaan Pajak 2024.
Studi tersebut juga menyebutkan, apabila kekayaan 50 orang teratas digabungkan, jumlahnya cukup untuk membayar gaji seluruh pekerja penuh dalam angkatan kerja di Indonesia sepanjang tahun.
Di sisi lain, untuk menyamai kekayaan tahunan dari lima hartawan teratas, mayoritas pekerja perlu bekerja selama 100 tahun.
Di satu sisi, sebagian besar masyarakat di piramida terbawah bergantung pada pekerjaan informal, seperti pedagang kaki lima atau buruh harian, yang tidak memiliki perlindungan sosial atau tunjangan kesehatan.
Ketika perekonomian melambat, mereka tidak hanya mengalami penurunan pendapatan, tetapi juga menjalani ekonomi subsistensi ketat dengan menghemat segala kebutuhan harian untuk bisa bertahan lebih lama.
Baca juga: Ketimpangan Pembangunan Terus Terjadi, Perempuan Masih Tertinggal
Direktur Keadilan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, seringkali kemajuan di Indonesia diukur berdasarkan indikator semu seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan pembangunan infrastruktur.
Di atas kertas, indikator tersebut memang menujukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi, di balik indikator tersebut ada ketimpangan ekonomi yang semakin dalam dan gagal dipotret.
"Pengukuran yang terlalu berfokus pada angka-angka makroekonomi sering kali melupakan makna hakiki dari pembangunan, yaitu memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan ekonomi benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang seberapa tebal isi dompet mereka," tulis Media dalam laporan tersebut.
Celios menilai, ketimpangan atau rasio gini yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kurang valid dalam menggambarkan ketimpangan yang sebetulnya.
Baca juga: Janji Prabowo Tambah 300 FK dan Ketimpangan Distribusi Dokter
Sebab, rasio gini tersebut menghitung konsumsi rumah tangga sebagai dasar penghitungannya, bukan pendapatan.
Metodologi berbasis konsumsi dinilai tidak dapat menangkap kekayaan atau pendapatan orang-orang super kaya. Mereka cenderung memiliki pola konsumsi yang berbeda dan tidak mencerminkan pendapatan sebenarnya.
"Orang super kaya sering menabung atau menginvestasikan pendapatan mereka, sementara konsumsi sehari-hari mereka tidak setara dengan kekayaan yang mereka miliki," tulis Celios.
Selain itu, survei konsumsi yang digunakan BPS tidak menjangkau atau melibatkan orang super kaya secara memadai, terutama 1 persen teratas.
Sehingga, ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang terlihat dalam data rasio gini BPS.
Baca juga: Anies Soroti Ketimpangan Upah Perempuan dan Laki-laki
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya