Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Wahyudi
Dosen

Pengurus Indonesian Asscociation for Public Administration (IAPA) Banten, Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik (MAKPI) Banten, Pengurus ICMI Kota Serang, Banten, Akademisi di Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Pamulang.

Penolakan Proyek Geothermal di Padarincang: Dilema Energi Terbarukan

Kompas.com - 14/10/2024, 16:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PROVINSI Banten memendam daya energi panas bumi yang istimewa. Dengan total kapasitas mencapai 790 MWe yang tersebar di 5 lokasi, Banten jadi salah satu wilayah akses dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Potensi ini tersebar di beberapa titik strategis, termasuk Rawa Danau (115 MWe), Gunung Karang (170 MWe), Gunung Pulosari (100 MWe), Gunung Endut (180 MWe), dan Pamancalan (225 MWe) melansir Esdm.go.id (2011).

Di antara lokasi-lokasi tersebut, Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Kaldera Danau Banten menjadi perhatian pokok. WKP ini mencakup tiga lokasi potensial, yaitu Rawa Danau, Gunung Karang, dan Gunung Pulosari, yang telah ditentukan statusnya oleh pemerintah.

Pengembangan WKP punya harapan bisa memberikan kontribusi terhadap target energi terbarukan nasional.

PT Sintesa Banten Geothermal, anak perusahaan dari PT Sintesa Green Energy, telah ditugasi sebagai pengembang utama proyek geothermal di Banten.

Perusahaan ini bermaksud membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi berkapasitas 110 MW di wilayah Serang dan Pandeglang, yang berpotensi menjadi salah satu pembangkit geothermal terbesar di Indonesia, mengutip Sintesagroup.com.

Namun, dari sisi potensi besar dan rancangan ini, hadir suara-suara “kegalauan” dari masyarakat lokal, khususnya di daerah Padarincang. Warga setempat telah menyatakan penolakan terhadap proyek ini, yang bisa dilihat dari insiden penolakan pemasangan plang proyek oleh PT Sintesa Banten Geothermal.

Kepala Desa Batukuwung, Aeng Haerudin, menerangkan bahwa penolakan ini kemungkinan besar disebabkan kurang mengertinya warga ihwal manfaat dan cara kerja proyek geothermal, (Bantennews.co.id, 16/04/2021). Keadaan ini mengacu adanya jarak komunikasi antara pengembang proyek dan masyarakat lokal.

Perjuangan masyarakat Padarincang ini mengamati pentingnya negosiasi yang inklusif dan transparan dalam pengembangan proyek energi terbarukan.

Kendati geothermal menganjurkan potensi energi bersih, aplikasinya mesti mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan secara masif.

Dampak lingkungan

Proyek geothermal di Padarincang yang diklaim sebagai energi bersih dan terbarukan, alih-alih mengandung berbagai kerawanan lingkungan yang mengancam kehidupan masyarakat setempat. Berikut ini beberapa akibat lingkungan yang perlu kita waspadai.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPb) di Padarincang memicu rasa was-was di kalangan warga setempat.

Masyarakat menyaksikan bagaimana hutan yang selama ini jadi sumber penghidupan digunduli, seperti yang terjadi di Gunung Parakasak, di mana sekitar satu hektare lahan hutan telah hilang.

Kerusakan ini baru pangkalnya saja, dari pengeboran untuk dua lubang sumur yang juga disiapkan. Imbasnya tak semata-mata pada keanekaragaman hayati yang terancam, melainkan juga pada mata pencaharian masyarakat yang bersandar pada hasil hutan untuk bertahan hidup.

Pengoperasian PLTPb memerlukan air dalam jumlah sangat besar untuk menghasilkan uap yang kemudian dikonversi menjadi listrik.

Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, menjelaskan, "Geothermal uap dihasilkan dari panas bumi tapi untuk menghasilkan uap membutuhkan air. Kemudian air itu didapatkan dari mana? Itu yang kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat," ucapnya melansir Mongabay.co.id (19/06/2024).

Pengambilan air secara masif berpotensi menurunkan muka air tanah dan menghilangkan sumber mata air yang jadi tanggungan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian.

Aktivitas penambangan panas bumi juga berisiko mencemari sumber air bersih masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan adanya potensi pencemaran air tanah dan kerusakan tanah imbas operasi PLTPb (Deduktif.id, 21/03/2024).

Selain itu, pembuangan air panas hasil proses pembangkitan listrik ke lingkungan sekitar bisa menyebabkan thermal pollution, yang berefek negatif pada ekosistem akuatik.

Salah satu konsekuensi yang paling mencemaskan dari proyek geothermal adalah potensi terjadinya gempa bumi minor.

Laporan penelitian CELIOS dan WALHI mengungkapkan adanya risiko seismik atau kegempaan di sekitar lokasi PLTPb. Fenomena ini dikenal sebagai "gempa picuan" yang disebabkan aktivitas pengeboran dan injeksi fluida ke dalam reservoir panas bumi.

Walaupun umumnya berkekuatan kecil, gempa-gempa ini bisa menimbulkan kerusakan pada bangunan dan infrastruktur di sekitar lokasi proyek.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau