Menilik berbagai ancaman lingkungan tersebut, tak heran jika masyarakat Padarincang menolak keras kehadiran proyek geothermal di wilayahnya.
Menolak proyek ini bukan soal kurangnya informasi, tapi lantaran pemahaman tentang ekses merusaknya pada alam. Masyarakat sadar betul bahwa proyek ini membawa risiko jangka panjang bagi lingkungan dan kehidupannya.
Masyarakat Padarincang telah menyatakan penolakan tegas terhadap proyek geothermal ini. Pada Februari 2023, warga secara spontan menolak pemasangan plang proyek oleh PT Sintesa Banten Geothermal.
Masyarakat di Padarincang dengan gamblang menolak proyek panas bumi, menampakkan keresahan dampak jangka panjang yang bisa ditimbulkan.
Bagi warga, penolakan ini tak sekadar reaksi spontan, melainkan bayang ketakutan akan masa depan lingkungan dan kesejahteraan.
Proyek geothermal ini mengancam sumber penghidupan utama warga Padarincang yang sebagian besar adalah petani dan pekebun. Proyek tersebut akan merusak lahan pertanian dan perkebunan.
Tak hanya soal ekonomi, tapi juga warisan budaya dan identitas sebagai masyarakat agraris. Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengingat pengalaman masyarakat di daerah lain yang kehilangan lahan produktif akibat proyek serupa.
Masyarakat Padarincang sangat bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya, terutama air dan hasil hutan.
Proyek geothermal acapkali menyulut konflik dengan masyarakat karena penggunaan air yang masif. Hilangnya akses ke sumber daya alam ini tak hanya masalah ekonomi, sebaliknya juga mengancam kelangsungan hidup dan tradisi masyarakat setempat.
Proyek ini berpotensi memicu konflik sosial lebih luas, tak sekadar antara masyarakat dengan pengembang proyek, tapi juga di antara warga sendiri.
Sejumlah kecil masyarakat yang memandang prospek ekonomi dari proyek ini mungkin akan mendukung, beberapa mayoritas yang khawatir akan dampak negatifnya tetap menolak. Kondisi ini bisa menciptakan kemelut dan keretakan dalam komunitas yang selama ini hidup harmonis.
Penolakan masyarakat Padarincang pada proyek geothermal bukan tanpa alasan. Masyarakat sudah menyaksikan dampak negatif proyek serupa di daerah lain.
Pengalaman buruk masyarakat di sekitar PLTP Sarulla, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, jadi pelajaran berharga. Di sana, masyarakat kehilangan akses pada sumber air bersih dan mengalami penurunan kualitas udara.
Proyek geothermal di Padarincang, Banten, menilik dilema pelik dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih, walau di sisi lain, praktiknya sering kali bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal.
Energi panas bumi atau geothermal sering dipromosikan sebagai solusi ideal untuk kebutuhan energi masa depan.
PT Sintesa Banten Geothermal, pengembang proyek di Padarincang, menandaskan bahwa geothermal adalah sumber energi yang bersih dan terbarukan. Geothermal punya potensi besar untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Memang benar, dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, geothermal menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih rendah.
Sekalipun geothermal mengiming-imingi manfaat besar bagi kebutuhan energi nasional, penerapannya di tingkat lokal sering kali memicu konflik.
Di Padarincang, masyarakat setempat merasa kepentingannya dikorbankan demi agenda nasional. Perselisihan ini mewakilkan ketegangan antara kebijakan energi nasional dan fakta di tingkat akar rumput.
Kendati geothermal diklaim sebagai energi bersih, daya guna dalam mengurangi emisi masih diperdebatkan. Pembangunan infrastruktur geothermal, termasuk penebangan hutan dan pengeboran, juga menghasilkan emisi.
Lebih jauh, hilangnya hutan sebagai penyerap karbon mesti diperhitungkan dalam kalkulasi dampak lingkungan geothermal.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya