SAMPAH plastik telah menjadi salah satu isu paling mendesak di dunia saat ini. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh penjuru bumi, dampak negatif dari penggunaan plastik yang berlebihan memicu krisis lingkungan serius.
Konsumsi plastik serta produksi plastik yang terus meningkat berkontribusi pada besarnya sampah yang dihasilkan.
Sampah plastik, yang kerap kita anggap sepele, menyumbang polusi yang merusak ekosistem, mencemari lautan, dan membahayakan kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia. Oleh karena itu, penanganan serius terhadap masalah ini sangat diperlukan.
Secara global, dari total plastik yang diproduksi, sebanyak 14 persen yang dapat dikelola dengan daur ulang, sebesar 14 persen lagi menjadi energi, sedangkan yang 72 persen terbuang ke TPA dan lingkungan (Kim et al., 2022).
Di Indonesia, situasi semakin mengkhawatirkan. Menurut data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SISPN) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, volume sampah nasional pada tahun 2023 mencapai lebih dari 38 juta ton per tahun, dengan 38,33 persen di antaranya atau sekitar 14,6 juta ton tidak terkelola.
Sebagian besar dari sampah ini merupakan sampah plastik, yang sudah melampaui 19 persen total komposisi sampah kota.
Sampah plastik menduduki urutan kedua terbesar, setelah sampah sisa makanan yang mencapai 39,82 persen. Dalam konteks ini, Indonesia telah memasuki kondisi kritis darurat sampah.
Paling tidak terdapat tiga faktor utama munculnya krisis akibat sampah ini. Pertama, sulitnya menemukan lahan baru untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kedua, pertumbuhan populasi yang pesat.
Ketiga, pola konsumsi yang tidak berkelanjutan mengakibatkan timbunan sampah terus meningkat.
Dari hulu hingga hilir, masalah sampah adalah tanggung jawab semua pihak. Pemerintah pusat dan daerah, industri atau produsen, serta masyarakat sebagai konsumen memiliki peranan penting dalam pengelolaan sampah.
Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah mengatur berbagai aspek dalam pengelolaan sampah, tapi implementasi yang konsisten dan berkesinambungan masih perlu ditingkatkan.
Sampah plastik yang tidak masuk ke dalam industri daur ulang adalah sampah plastik bernilai rendah atau disebut Low Value Plastic (LVP).
Salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan sampah plastik adalah limbah plastik bernilai rendah (LVP). Sampah jenis ini mencakup kemasan makanan dan snack, detergen, dan produk sachet yang sering kita gunakan sehari-hari.
Biaya pengumpulan dan pengolahan LVP sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari penjualan plastik yang didaur ulang. Hal ini menyebabkan banyak pihak enggan untuk mengelola sampah jenis ini.
Namun, di tengah tantangan tersebut, beberapa industri di Indonesia mulai mengembangkan teknologi untuk mengolah LVP menjadi material substitusi yang dapat digunakan dalam konstruksi.
Material substitusi merupakan material yang dapat menggantikan fungsi dari bahan atau material lainnya yang memiliki sifat karakteristik mirip atau memenuhi persyaratan tertentu yang diperlukan dalam suatu aplikasi atau proses.
Contohnya, penggunaan plastik daur ulang di berbagai aplikasi interior, seperti yang dapat dilihat pada coffee shop Kopitagram Centang Biru di Kuningan, Jakarta Selatan.
Inisiatif ini menunjukkan bahwa dengan inovasi dan kreativitas, sampah plastik dapat diubah menjadi sesuatu yang bernilai.
Untuk memahami adanya potensi luar biasa dari material yang dianggap bernilai rendah ini, mari kita lihat beberapa produk lain yang awalnya murah, rendah, atau biasa, tetapi akhirnya menjadi luar biasa melalui inovasi teknologi dan pengembangan. Salah satu contohnya bata dari limbah plastik.
Bata konvensional telah lama menjadi material bangunan yang umum, tetapi proses produksinya memerlukan banyak energi dan bahan baku.
Dengan inovasi, beberapa perusahaan telah mengembangkan bata dari limbah plastik yang diolah.
Awalnya produk ini dianggap sebagai alternatif murah. Namun, seiring waktu, bata dari limbah plastik ini telah terbukti kuat dan tahan lama, bahkan mengungguli bata tradisional dalam berbagai aspek.
Inovasi ini tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga memberikan alternatif bangunan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Produk ini kini telah diakui secara luas, menunjukkan bagaimana limbah dapat diubah menjadi material yang bernilai ketika diolah dengan cara yang inovatif.
Konversi LVP menjadi material substitusi tidak hanya mengurangi jumlah sampah yang tidak terkelola, tetapi juga dapat memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif.
Dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru dalam proses pengumpulan, pengolahan, dan pemanfaatan limbah plastik, tentu saja hal ini dapat mewujudkan ekonomi sirkuler yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Namun, meskipun terdapat inisiatif menjanjikan, adopsi material substitusi ini di industri konstruksi masih belum masif.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya regulasi dan standar nasional untuk material yang berasal dari plastik daur ulang. Tanpa pedoman jelas, industri akan ragu untuk mengadopsi bahan-bahan ini secara luas.
Kekhawatiran tentang keamanan dan ketahanan material berbasis daur ulang juga perlu diatasi. Misalnya, penggunaan material ini sebagai bagian dari eksterior bangunan yang terpapar cuaca ekstrem dapat menimbulkan pertanyaan mengenai potensi pelepasan zat berbahaya.
Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu segera menyusun standar nasional untuk material substitusi dari pengolahan LVP.
Regulasi ini harus mencakup aspek-aspek seperti keamanan, kualitas, dan ketahanan agar material tersebut dapat diakui secara resmi dalam proyek konstruksi dan dekorasi.
Program sertifikasi juga perlu dikembangkan untuk produk yang dihasilkan dari pemanfaatan plastik bernilai rendah. Sertifikasi ini akan menjadi bukti bahwa material tersebut aman, berkualitas, dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar dan memfasilitasi penggunaan material ini secara lebih luas.
Selain regulasi, pemerintah dan industri juga harus bekerja sama dalam mengembangkan infrastruktur pengolahan plastik yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Infrastruktur yang baik akan mempermudah pengumpulan dan pengolahan plastik bernilai rendah ini.
Selain itu, dengan adanya pemerataan infrastruktur pengolahan plastik di berbagai wilayah di Indonesia, akan meningkatkan kapasitas untuk mengelola sampah.
Upaya ini bukan hanya akan membantu mengurangi jumlah sampah, tetapi juga menjadi langkah strategis menuju ekonomi sirkuler berkelanjutan.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses ini, baik sebagai konsumen yang sadar lingkungan maupun sabagai partisipan aktif dalam program pengelolaan sampah.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menyelenggarakan beragam kegiatan yang dapat mempercepat adanya peran aktif dari berbagai pemangku kepentingan.
Kegiatan workshop atau program-program lain yang dapat mensinergikan kebutuhan semua pihak mulai dari masyarakat, asosiasi, periset, industri, arsitek, pengembang, dan regulator sebagai wadah untuk diskusi mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi dalam implementasinya merupakan salah satu langkah yang dapat memacu partisipasi.
Kendala, kebutuhan, serta permasalahan yang ada di lapangan dalam perspektif masing-masing stakeholder akan menjadi rekomendasi untuk perbaikan berkelanjutan semua pihak, khususnya untuk pengembangan produk yang dihasilkan dari sampah LVP ini.
Dengan demikian, langkah-langkah konstruktif ini akan menjadi bukti bahwa sampah plastik bernilai rendah tak mesti murah, justru bisa menjadi sesuatu yang mewah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya