KOMPAS.com - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menekankan pentingnya penataan sawit yang baik.
Peneliti LPEM FEB UI Eugenia Mardanugraha mengatakan, penataan sawit yang baik diperlukan untuk menjaga citra sawit Indonesia dan iklim investasi di mata dunia.
"Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, penyitaan disertai penyegelan yang berlebihan terhadap kebun-kebun sawit yang dinilai ilegal akan menambah buruk image Indonesia di mata dunia terutama bagi negara-negara Eropa," kata Eugenia, sebagaimana dilansir Antara, Minggu (30/3/2025).
Baca juga: Operasional Perusahaan Sawit Tak Berizin di Kuningan Dihentikan Sementara
Dia menyampaikan, ketidakpastian hukum ke depan akan mengganggu iklim investasi di Indonesia. Kebijakan tersebut juga membahayakan investor.
Ia menuturkan, Eropa sering membuat kampanye hitam untuk sawit Indonesia, seperti tudingan eksploitasi anak, penebangan hutan, dan lainnya. Kampanye hitam seperti itu, menurut Eugenia, telah menurunkan citra Indonesia di mata dunia.
"Kalau misalkan ada seperti ini lagi (penertiban sawit yang berlebihan), image Indonesia tambah buruk," ujar Eugenia.
Dia mengungkapkan, penertiban lahan sawit yang berlebihan akan memunculkan ketidakpastian hukum, sehingga dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Apalagi, ada sejumlah lahan-lahan sawit yang dimiliki masyarakat sudah mengantongi izin usaha perkebunan (IUP), bahkan juga ada yang telah memiliki surat hak guna usaha (HGU) dari pemerintah pusat.
Baca juga: Ahli: Penertiban Lahan Sawit Perlu Satu Peta Hutan Terintegrasi
Menurutnya, dari hasil kegiatan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sejak 24 Februari-18 Maret 2025, perkebunan sawit yang berhasil disita mencapai 317.000 hektar. Satgas PKH melaksanakan operasi serentak di 19 provinsi, mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua.
Selanjutnya sawit sitaan tersebut akan dikelola secara permanen oleh PT Agrinas Palma Nusantara yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.
Kementerian Keuangan menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 8 triliun untuk tiga BUMN karya yang telah merger menjadi Agrinas atau Agro Industri Nasional termasuk kepada PT Agrinas Palma Nusantara yang menangani perkebunan sawit.
Ia menyarankan, jika ada perusahaan sawit yang belum bayar pajak atau pajaknya kurang, maka hal itu bisa dibicarakan dengan para pengusaha untuk melunasinya.
Eugina menuturkan, Eropa sangat ketat dalam menerapkan standar-standar bagi masuknya produk sawit ke negaranya seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Salah satunya, mereka tidak akan mau membeli sawit yang berasal dari kawasan hutan.
Baca juga: Ekspansi Sawit: Peluang Ekonomi yang Mengancam Lingkungan?
"Nah, persoalannya itu nanti sawitnya akan dilempar ke mana? Siapa yang mau membeli sawitnya itu?’’ ujarnya.
Di sisi lain, Eugenia juga mempertanyakan kemampuan pengelolaan hasil sitaan lahan-lahan sawit tersebut. Karena mengelola lahan sawit tidak mudah.
"Jika tidak dikelola secara baik, dikhawatirkan akan mengalami penurunan produksi. Apalagi lahan sawit yang masuk kawasan hutan luasnya sekitar 3,3 juta hektar. Dan hal tersebut akan membahayakan produksi sawit secara nasional," tuturnya.
Menurut dia, perlunya merekrut para pakar sawit secara profesional jika ingin mengelola lahan sawit secara benar. Termasuk investasi yang harus dikeluarkan dalam industri sawit, sehingga perlunya persiapan hal itu.
Baca juga: PLN Rilis 592 Renewable Energy Ceritificate untuk Industri Sawit
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya