Pertambangan telah menjadi fondasi perkembangan peradaban serta kedaulatan ekonomi dan industri suatu negara. Keberadaan sumber daya mineral yang dikelola dengan baik bukan hanya akan memastikan ketahanan industri nasional tetapi juga menentukan posisi suatu negara dalam geopolitik global.
Dari energi hingga teknologi, hampir semua aspek kehidupan modern bergantung pada hasil tambang. Besi, tembaga, dan nikel menopang infrastruktur dan kendaraan listrik. Sedangkan silika dan rare earth elements menjadi bahan utama perangkat komunikasi dan energi terbarukan.
Tanpa pertambangan, rantai pasok global akan terganggu, dan banyak inovasi teknologi yang kita anggap sebagai kemajuan tidak akan pernah terwujud.
Baca juga: Perusahaan Tambang Beri Orangutan Rumah Baru di Lahan Reklamasi
Namun, terdapat dilema yang tidak dapat diabaikan. Aktivitas pertambangan, dengan segala manfaatnya, secara inheren mengubah lanskap dan ekosistem.
Eksploitasi sumber daya bawah tanah menyebabkan perubahan struktur geologi, degradasi vegetasi, serta potensi gangguan terhadap sumber air dan biodiversitas. Di titik inilah industri tambang kerap dikritik sebagai aktor utama perusakan lingkungan. Narasi ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga tidak selalu tepat.
Dalam praktiknya, pertambangan tidak dapat dihindari, tetapi dampaknya bisa dikendalikan. Prinsip-prinsip Good Mining Practices telah menjadi standar dalam industri, dengan regulasi yang mencakup izin eksplorasi, eksploitasi, hingga pasca-tambang.
Salah satu aspek paling krusial dalam regulasi ini adalah kewajiban reklamasi, yaitu proses pemulihan lingkungan yang bertujuan mengembalikan kondisi lahan bekas tambang agar mendekati keadaan semula atau bahkan lebih baik.
Kewajiban ini diatur dalam UU no 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dipertegas lagi dalam PP no 78 tahun 2020 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang serta Peraturan Menteri ESDM no 26 tahun 2018 tentang Pedoman dan Kaidah Pertambangan yang Baik.
Sayangnya, implementasi reklamasi tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Di banyak wilayah tambang, terutama yang dikelola oleh perusahaan dengan modal terbatas atau tambang ilegal, reklamasi sering kali hanya sebatas formalitas administratif.
Baca juga: Pohon Sagu, Tanaman Alternatif Reklamasi Lahan Bekas Tambang di Bangka
Lubang-lubang bekas galian dibiarkan terbuka, menciptakan risiko kecelakaan dan pencemaran air tanah. Vegetasi yang dijanjikan untuk ditanam kembali hanya sebatas bibit tanpa perawatan.
Tidak sedikit perusahaan yang memanfaatkan celah regulasi untuk menghindari tanggung jawab ini, meninggalkan dampak lingkungan yang harus ditanggung oleh generasi berikutnya.
Dalam konteks Idul Fitri, manusia diajarkan bahwa meminta maaf bukan sekadar pengakuan atas kesalahan, tetapi juga komitmen untuk memperbaikinya.
Jika industri tambang ingin benar-benar bertanggung jawab, maka reklamasi harus lebih dari sekadar kewajiban hukum. Reklamasi harus menjadi refleksi dari etika bisnis yang menghormati keseimbangan alam.
Beberapa perusahaan telah membuktikan bahwa reklamasi dapat dilakukan secara efektif. PT Freeport Indonesia di Papua, misalnya, telah merehabilitasi lahan pasca-tambang dengan menciptakan ekosistem baru yang mendukung biodiversitas lokal.
Selain itu, mereka mengembangkan perikanan air tawar di area yang sebelumnya terdampak aktivitas tambang, memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya