KOMPAS.com - Grup band metal asal Solo, Down For Life, merilis video klip yang menyuarakan ancaman kehilangan hutan adat yang dihadapi masyarakat adat Dayak Kualan di Kalimantan Barat.
Video klip berjudul Prahara Jenggala tersebut dirilis bebarengan dengan festival musik tahunan Rock in Solo 2024 di Kalipepe Land, Sabtu (14/11/2024).
Saat ini, masyarakat adat Dayak Kualan di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang menghadapi ancaman kehilangan ruang hidup mereka akibat kehadiran perusahaan hutan tanaman industri.
Baca juga: Konser Metal di Solo Turut Suarakan Krisis Iklim dan Ketimpangan
Konsesi perusahaan tersebut terletak sekitar 1 kilometer dari desa mereka dan menyerobot hutan adat.
Vokalis sekaligus frontman Down For Life Stephanus Adjie mengatakan, meski berasal dari Jawa Tengah, video klip tersebut ingin menyuarakan bahwa kerusakan lingkungan terjadi di mana saja.
"Kami juga ingin mengajak para pendengar untuk aware bahwa kerusakan lingkungan terjadi karena pemerintah kita yang kecanduan dengan pembangunan yang mengabaikan kemanusiaan dan itu memicu ketimpangan sosial, orang kaya yang merebut ruang masyarakat adat," kata Adjie dikutip dari siaran pers.
Adjie menuturkan, kondisi negara sekitar dua sampai tiga tahun belakangan memantik mereka untuk mengeluarkan amarah lewat karya.
Pasalnya, mereka dengan mudah melihat potret ketimpangan yang terjadi antara orang kaya dan orang miskin.
Baca juga: Dari Tapal Batas Negeri, Masyarakat Dayak Berjuang Lindungi Anak Lewat Peraturan Adat
"Sebagai warga Solo dan warga yang tinggal di Jawa, kita bisa melihat betapa buruknya pembangunan dan tata ruang yang berantakan," tutur Adjie.
Salah satu masyarakat adat Dayak Kualan Ratius menuturkan, hutan yang diserobot perusahaan merupakan merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Di hutan tersebut ada berbagai jenis tanaman sebagai sumber mata pencaharian seperti durian, bambu, sawit, tengkawang, karet, dan lain sebagainya.
Selama bertahun-tahun lamanya, hutan tersebut turun-temurun dikelola oleh warga desa.
"Obat-obatan juga bisa kita ambil dari hutan. Namun sekarang, banyak lahan masyarakat yang diambil oleh perusahaan. Tidak hanya mengambil lahan masyarakat dan menghancurkan tanaman-tanaman kami, tapi ketika kami memperjuangkan hak, kami dilaporkan dan harus berhadapan dengan polisi," ujar Ratius.
Baca juga: Cerita MMS Group Indonesia Melestarikan Cagar Budaya Suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur
Pengampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Oktaviani menuturkan, apa yang terjadi di Kualan Hilir adalah salah satu contoh di mana hutan alam dibabat dan digantikan dengan tanaman perkebunan.
Akibatnya adalah penyingkiran masyarakat adat, hilangnya biodiversitas termasuk satwa langka dan endemik, serta semakin parahnya krisis iklim akibat emisi karbon yang dilepas dari deforestasi.
Amalya menyampaikan, pengembangan bioenergi termasuk biomassa yang akan digunakan sebagai pengganti batu bara untuk menghasilkan listrik akan memicu perluasan deforestasi.
"Yang kita butuhkan sekarang dalam menghadapi krisis iklim adalah dorongan ke energi bersih, terbarukan yang berkelanjutan. Serta mulai mendorong pengelolaan sumber daya, baik itu energi dan hutan berbasiskan komunitas masyarakat," ujar Amalya.
Baca juga: Kemenhut Siapkan Hutan untuk Produksi Bioetanol dari Aren
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya