PEMERINTAH Indonesia sudah menjalankan beberapa proyek food estate selama sekitar seperempat abad, namun semuanya gagal (Dwi Andreas Santoso, Kompas, 21 November 2024).
Food estate di Bulungan, Kalimantan Timur seluas 298.221 hektare yang dicanangkan pada 2008 hanya berhasil mencetak lahan seluas 1024 hektare, dengan luas lahan yang berhasil ditanam seluas 5 hektare.
Food estate di Ketapang hanya berhasil mencetak 100 hektare luas tanam dari 886.959 hektare potensi lahan pertanian (Laksmi, dkk, 2015).
Selain dua proyek tersebut, ada juga mega proyek Merauke Integrated food and Energy Estate (MIFEE), yang diresmikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010.
Mega proyek ini hendak menjadikan Merauke sebagai pusat pangan dunia, dengan slogan, “beri makan Indonesia, beri makan dunia”.
Pemerintah berharap, di tahun 2030, MIFEE menghasilkan 1,95 juta ton beras, 2,02 juta ton jagung, 167.000 ton kedelai, 64.000 sapi, 2,5 juta ton gula dan 937.000 ton sawit setiap tahun (Bina Desa, 2012).
Presiden Prabowo Subianto melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi yang melalui Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 menyebutkan, bahwa program food estate di Merauke menjadi prioritas strategis nasional.
Tulisan ini berisi permohonan kepada pemerintah untuk meninjau kembali proyek strategis nasional Food Estate di Merauke.
Dalam Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), 8-13 November 2024 di Toraja, gereja-gereja membahas masa depan orang asli Papua.
Dalam diskusi, saudara-saudara Papua menyuarakan jeritan hatinya. Mereka merasa, sebagai bagian integral bangsa Indonesia, orang asli Papua belum dilihat sebagai subyek dalam pengambilan kebijakan pemerintah, termasuk dalam food estate di Merauke.
Apa yang ditulis oleh Sophie Chao (2021) tentang masyarakat Marind-Anim, yang tanah ulayatnya dikonversi menjadi food estate di Merauke, perlu didengar oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Chao melakukan studi etnografis selama sekitar 18 bulan di suku Marind-Anim, Bian atas, Merauke.
Masyarakat Marind mengonsumsi tepung sagu, ubi-ubian, ikan, hewan seperti rusa, buaya, babi hutan, kasuari.
Mereka menjadikan sayur dan bermacam-macam buah seperti mangga, rambutan, kelapa sebagai sumber protein nabati.
Masyarakat Marind mengatakan, makanan dari hutan membuat mereka kenyang lahir batin sebab aktivitas pencarian dan pengolahan makanan bukan sekadar aktivitas memenuhi rasa lapar, tetapi menjadi aktivitas kultural dan spiritual.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya