Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Tapal Batas Negeri, Masyarakat Dayak Berjuang Lindungi Anak Lewat Peraturan Adat

Kompas.com - 03/09/2023, 15:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

SAMBAS, KOMPAS.com – Di penghujung hari Senin (28/8/2023), lebih dari 1.000 kilometer dari Jakarta, beberapa anak dengan riang gembira bermain dan berlarian di kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk. Sinar matahari sore yang semakin temaram, menemani mereka menikmati dunianya.

Terletak di Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, PLBN Aruk merupakan salah satu gerbang antara Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan Barat. Kawasan tersebut diperbaiki dan dibangun pada 2017 sebagai bentuk kehadiran negara di tapal batas negeri.

Di balik PLBN Aruk, tersimpan cerita kerentanan anak di Sajingan Besar, salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan “Negeri Jiran”.

Baca juga: PBB: Negara Wajib Lindungi Hak Anak dari Kerusakan Lingkungan dan Krisis Iklim

Pada periode 2018 hingga 2021, ada tiga laporan kasus kekerasan seksual diterima oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kabupaten Sambas.

Jumlah tersebut terbilang kecil bila dibandingkan total laporan kekerasan seksual se-Kabupaten Sambas pada periode yang sama yakni 125 kasus.

Di satu sisi, fenomena kekerasan anak di Sajingan Besar, termasuk Kabupaten Sambas secara keseluruhan, dimaknai sebagai fenomena gunung es yang perlu ditangani secara serius.

Camat Sajingan Besar Obertus menyampaikan, kasus kekerasan seksual terhadap anak pasti ada. Akan tetapi, banyak yang tidak melaporkan.

Baca juga: Perjuangan Putus Rantai Kekerasan Anak di Kabupaten Sambas

“(Kasus) kekerasan seksual normatif. Orang tidak banyak yang melaporkan. (Kasus-kasus) itu ada di masyarakat,” kata Obertus kepada wartawan di kawasan PLBN Aruk, Senin.

Kerentanan anak di sana tak lepas dari letak Kecamatan Sajingan Besar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Tingginya lalu lintas orang dan barang yang keluar-masuk turut berpengaruh terhadap kehidupan di sana, tak terkecuali anak-anak.

“Perlintasan orang dan barang itu ada dampak negatifnya. Belum lagi di perbatasan di kabupaten lain masih ada jalur tidak resmi. Pengaruh-pengaruh ini ada potensi ke anak-anak dan remaja di sini,” papar Obertus.

Kecamatan Sajingan Besar memiliki lima desa di mana mayoritas penduduknya adalah suku Dayak, utamanya subsuku Dayak Salako dan Dayak Rara. Mereka sangat memegang teguh peraturan adat yang sakral dan secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang.

Baca juga: Perlu Kolaborasi Wujudkan Perempuan Berdaya dan Anak Terlindungi

Berbekal warisan leluhur yang sakral tersebut, muncullah ide dari masyarakat Dayak untuk menuliskan peraturan adat yang tidak tertulis.

Pada 2021, setelah menjalani beberapa kali musyawarah adat yang cukup panjang disertai pendampingan oleh yayasan kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI), para tetua dan masyarakat Dayak menyepakati Peraturan Adat (Perdat) Kecamatan Sajingan Besar.

Perdat ini lantas menjadi dasar untuk perlindungan anak di level desa. Maka disusunlah peraturan desa (perdes) perlindungan anak berbasis perdat pada 2022 di lima desa di Kecamatan Sajingan Besar yakni Desa Kaliau, Desa Sebunga, Desa Santaban, Desa Sanatab, dan Desa Sungai Bening.

Baca juga: 10.000 Anak Penguin Kaisar Mati karena Es Laut Mencair, Pemanasan Global Jadi Biang Keladi

Warisan untuk generasi mendatang

Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar Libertus saat ditemui wartawan di rumahnya di Desa Sanatab, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (28/8/2023).KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar Libertus saat ditemui wartawan di rumahnya di Desa Sanatab, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (28/8/2023).

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau