Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti BRIN Rekomendasikan Mitigasi Karhutla Berbasis Komunitas

Kompas.com - 17/12/2024, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Puji Hastuti mengatakan, model mitigasi berbasis komunitas memliki peran penting untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Hal tersebut disampaikan Puji dalam kegiatan bertajuk Refleksi Akhir Tahun, Pameran Infografis Hasil Riset dan Monev Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Akhir Tahun 2024 di Jakarta, Jumat (13/12/2024).

Model mitigasi berbasis komunitas tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan pengetahuan lokal dan etno-demografi.

Baca juga: Peneliti BRIN: Gesekan Ranting Kayu hingga Petir Tak Mungkin Sebabkan Karhutla

"Caranya dengan melibatkan penduduk lokal dalam perencanaan dan implementasi restorasi ekosistem berbasis keadilan, khususnya di lahan gambut dan kawasan hutan," kata Puji dikutip dari situs web BRIN, Senin (16/12/2024).

Cara lainnya yakni dengan mengelola sumber daya air secara terpadu dengan memastikan distribusi penduduk, kebutuhan air rumah tangga, pertanian, dan industri secara adil. 

Selain itu, perlu juga meningkatkan kapasitas kelembagaan untuk mempromosikan agroforestri sebagai solusi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, serta mengatasi tantangan kependudukan seperti urbanisasi dan migrasi.

Di sisi lain, keterlibatan mitigasi berbasis komunitas juga memerlukan redistribusi hutan dan lahan secara adil untuk mendukung masyarakat adat dan petani kecil. 

Baca juga: Greenpeace Pertanyakan Data Penurunan Karhutla Tahun 2023

Redistribusi hutan dan lahan yang adil dapat menjamin hak masyarakat adat atau kelompok marjinal dalam pengelolaan sumber daya alam.

Hal tersebut sekaligus dapat mendorong keterlibatan penduduk marjinal dalam pengambilan keputusan.

Metode pelibatan masyarakat juga bisa memiliki andil dalam melestarikan spesies kunci dan mengelola kawasan penyangga. Hal ini dapat mendukung keseimbangan ekologi dan kebutuhan populasi. 

"Yang menjadi refleksi diri adalah hasil riset mengenai penduduk dan lingkungan harus berfokus pada solusi nyata terhadap permasalahan mendesak. Permasalahan tersebut seperti deforestasi, polusi, dan ketimpangan sosial ekonomi yang dialami penduduk marjinal," urai Puji.

Peneliti lain dari Pusat Riset Kependudukan BRIN Syarifah Aini Dalimunthe menjelaskan, ada dua faktor yang mempercepat dan memperburuk kerugian akibat bencana.

Baca juga: PBB: Regulasi Intervensi Karhutla Indonesia Lebih Baik dari Rusia dan AS

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu. Kedua, perubahan iklim yang mendorong terjadinya dan jatuhnya korban, baik secara ekonomi maupun dari sisi penduduk yang semakin besar.

"Di seluruh dunia polanya sama. Wilayah-wilayah pesisir terkonsentrasi oleh penduduk. Padahal secara geologis, seharusnya tidak ditinggali oleh penduduk yang sangat besar, apalagi tidak semua siap menghadapi bencana," tutur Syarifah.

Dia memaparkan Indonesia menduduki peringkat kedua wilayah paling berisiko terhadap bencana, baik geologi maupun hidrologi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, pada 2024, ada 1.800 bencana yang terjadi di Indonesia.

"Bencana bisa diantisipasi dengan kesiapan baik di tingkat individu maupun komunitas, bahkan dari tingkat kebijakan," ucap Syarifah.

Baca juga: Laporan PBB: Karhutla Indonesia Capai 1,16 Juta Hektare, Kalsel Terparah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau