Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jawa Tengah Terancam Tenggelam, Apa Penyebabnya?

Kompas.com - 12/12/2024, 11:00 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ancaman tenggelamnya Jawa Tengah bukan isapan jempol semata. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengungkapkan, bebebapa wilayah pesisir yakni Desa Timbulsloko, Bedono, dan Sriwulan, Kabupaten Demak kini menjadi rawa atau lautan.

Sementara Desa Tirto, Wonokerto, Pekalongan serta Desa Pandan Sari di Brebes tenggelam karena abrasi. Cornelius Gea dari LBH Semarang mengungkapkan, peristiwa itu terjadi bukan hanya karena perubahan iklim.

"Kenapa Demak tenggelam? Ada sebab-sebab lokalnya yang bisa kita minta pertanggungjawabannya. Di sana ada Pelabuhan Tanjung Emas, reklamasi Pantai Marina, POJ City, pembangunan jalan tol Semarang-Demak, dan kawasan industri-industri," ujar Cornelius dalam keterangan tertulis, Kamis (12/12/2024).

Baca juga:

Sementara itu, pihak KIARA Susan Herawati menilai, dibangunnya tanggul laut atau giant sea wall bukanlah solusi banjir rob. Menurut Susan, pananaman mangrove lebih dibutuhkan untuk menahan limpasan air laut.

“Solusi ini bukan hanya tidak berbasis pengetahuan lokal, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat pesisir,” ucap Susan.

Pihaknya menilai, tanggul raksasa yang dibangun untuk melindungi Kota Semarang memperparah kondisi di Demak dan daerah pesisir sekitarnya.

Sebab, air yang terhalang tanggul mengalir ke wilayah lebih rendah lalu menenggelamkan desa-desa. Proyek-proyek tersebut dianggap mengubah pola aliran air serta menghilangkan ekosistem mangrove.

Krisis Iklim di Jateng

KIARA menyatakan, krisis iklim di Jateng menunjukkan ketidakadilan struktural. Berdasarkan catatan LBH Semarang, ada 139 kasus lingkungan di Jawa Tengah, termasuk 101 peristiwa banjir dan longsor serta sembilan kasus kekeringan pada 2024.

Lainnya, area tutupan lahan hutan hanya tersisa 5.700 kilometer persegi, dan lahan kritis mencapai 733,4 hektare. Dampak paling parah, kata KIARA, dirasakan oleh nelayan dan petani tambak.

Masnuah dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) menceritakan, rob menghancurkan desa-desa pesisir maupun mata pencaharian warga.

Baca juga:

"Anak-anak sekarang tidak lagi bermimpi menjadi nelayan. Pergi melaut sudah tidak menjanjikan. Nelayan kehilangan ruang hidupnya akibat reklamasi besar-besaran,” tutur Masnuah.

Masnuah berujar, upaya masyarakat pesisir untuk bertahan sering kali dianggap tidak penting oleh pemerintah. Program konservasi mangrove yang dilakukan secara swadaya, misalnya, tidak mendapat dukungan memadai.

“Bicara soal krisis iklim, prasyarat utama adalah melibatkan masyarakat dalam mosi publik. Namun, kenyataannya, konsultasi rakyat hanya formalitas,” sebut perwakilan Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim Abdurrahman Sandriyanie.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau