AKHIR 2024 lalu, kita dihadapkan pada krisis iklim yang kian parah, salah satu indikatornya adalah adanya kenaikan muka air laut (sea level rice) yang menghantam wilayah pesisir utara Jawa, termasuk di DKI Jakarta yang berlangsung lebih dari tujuh hari.
Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta sebagaimana diberitakan Kompas.com menjelaskan, banjir rob menyebabkan 12.000 warga terdampak dan berimplikasi pada kehidupan sosial ekonomi di sejumlah wilayah Jakarta Utara.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati (2024) lalu menegaskan bahwa krisis iklim adalah suatu keniscayaan yang dipicu peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan.
Hal itu mendorong perubahan iklim pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Implikasi dari krisis iklim dalam jangka panjang adalah mengancam kelestarian bumi dan manusia itu sendiri.
Bahkan untuk wilayah Indonesia, BMGK memproyeksikan suhu maksimum tahunan periode 2020-2049 dalam skenario RCP 8.5 (Representative Concentration Pathways) bisa lebih dari 30 C di beberapa wilayah, seperti di sepanjang pulau Sumatera bagian timur, utara Jawa Timur, utara Papua, utara Kalimantan dan Sulawesi Selatan.
Kerugian secara ekonomi akibat krisis iklim dalam catatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2023 lalu sebesar Rp 112,2 triliun atau setara 0,5 persen pendapatan domestik bruto Indonesia.
Secara bertahap, tekanan Inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan nasional dan internasional akibat perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi mengakibatkan kerugian finansial yang besar.
Secara khusus, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut kerugian ekonomi akibat krisis iklim di pantai utara Jawa saja mencapai Rp 2,1 triliun per tahun dan akan mencapai Rp 10 triliun per tahun di masa mendatang jika tidak ada mitigasi dan antipiasi terhadap krisis iklim.
Dalam konteks krisis iklim, Indonesia tidak hanya menjadi negara-negara yang dirugikan akibat dampak buruk yang ditimbulkan.
Namun, secara paradok juga sebagai negara penghasil gas rumah kaca (GRK) yang besar dalam satu dekade ke belakang.
Menurut Basis Data Emisi untuk Penelitian Atmosfer Global (EDGAR) milik Komisi Eropa, emisi GRK dunia mencapai 53,79 gigaton setara karbon dioksida (Gt CO2e) pada 2022. Angka itu naik 1,37 persen dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sebesar 53,06 Gt CO2e.
Secara khusus volume emisi GRK Indonesia pada tahun 2022 mencapai 1,24 gigaton setara karbon dioksida (Gt COe), yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah dan menyumbang sekitar 2,3 persen total emisi GRK global.
Perlu dicatat bahwa data ini belum mencakup emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Land-use, Land-use Change and Forestry/LULUCF).
Untuk wilayah Asia, kita adalah penghasil GRK ketiga setelah China dan India. Tinggingya kontribusi Indonesia dalam GRK menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dipicu ketergantungan kita pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi.
Batu bara menyumbang 38 persen, minyak bumi menyumbang 32 persen, dan gas alam menyumbang 19 persen. Sementara itu, sumber energi terbarukan hanya menyumbang 11,2 persen.
Selain aspek lingkungan, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil berdampak pada anggaran nasional dengan subsidi energi.
Kondisi empiris tersebut juga sejalan dengan temuan International Energy Agency yang dalam laporannya terhadap pelaksaan transisi energi di Indonesia menunjukan tingkat ketergantungan yang tinggi pada sektor batu bara, minyak dan gas bumi, serta perilaku industri yang buruk terhadap kontribusi GRK.
Kontribusi GRK lainnya dari Indonesia adalah dampak dari deforestasi yang kian masif. Global Forest Watch melaporkan bahwa laju hilangnya hutan primer terus menurun, termasuk di Indonesia.
Pada 2021, deforestasi menurun sebesar 25 persen atau 200.000 hektare, dibandingkan dengan 270.000 hektare lahan hutan primer pada tahun 2020, setara dengan 208 metrik ton (mt) emisi karbon.
Namun, deforestasi kumulatif Indonesia pada tahun 2021 sebesar 202.905 masih menduduki peringkat keempat di antara negara tropis setelah Brasil (1.548.657 hektare), Kongo (499.059 hektare), dan Bolivia (291.379 hektare).
Menurut Pusat Penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, deforestasi di Indonesia secara umum terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri, pembakaran lahan gambut, dan tata kelola pemanfaatan lahan yang buruk.
Deforestasi terbesar terjadi untuk perkebunan kelapa sawit, mencapai 23 persen. Bahkan pada tahun 2019, lebih dari 3 juta hektare kawasan hutan dialokasikan untuk produksi kelapa sawit - meskipun perkebunan dapat beroperasi secara legal di hutan produksi, mereka juga melintasi hutan konservasi dan hutan lindung.
Sebagai komitmen global dalam upaya pengurangan GRK, Indonesia pada konferensi perubahan iklim (COP 27) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang disempurnakan akan memangkas emisi GRK sebesar 31,9 persen kondisi normal pada tahun 2030, dan dengan bantuan internasional pengurangan mencapai 43,2 persen.
Upaya ini mencakup berbagai inisiatif, termasuk peningkatan penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, dan penerapan teknologi bersih di sektor energi.
Untuk menilai sejauh mana kesiapan adaptasi dan mitigasi tersebut, telah dilakukan penelitian oleh BRIN termasuk pengumpulan data lapangan di wilayah penghasil batu bara di Kalimantan Timur, serta lokasi pembangkit listrik yang besar seperti di Banten.
Catatan pertama adalah, dari analisis regulasi terkait dengan kesiapan dalam penurunan GRK ternyata Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus yang mendukung transisi menuju emisi nol bersih dalam kebijakan energinya sebagai payung atau kerangka energi yang adil di tingkat nasional.
Proses transisi energi hanya bergantung pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang bersifat makro dan tidak secara khusus mengatur transisi energi dan pengurangan GRK yang masih memfokuskan pada otonomi dan ketahanan energi nasional.
Undang-Undang No. 30/2007 sebagian besar berpusat pada sumber energi konvensional, undang-undang tersebut perlu direvisi agar mencakup energi terbarukan dan transisi energi yang lebih luas secara lebih komprehensif.
Undang-undang energi yang holistik harus mengintegrasikan tujuan politik (seperti ketahanan energi), faktor ekonomi (termasuk harga, subsidi, dan keterjangkauan), dan tujuan lingkungan (terutama menangani mitigasi perubahan iklim).
Transisi energi hanya didasarkan pada cetak biru dan kebijakan energi yang terbatas, terutama dengan Kebijakan Energi Nasional melalui Peraturan Pemerintah 79/2014 terkait dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional.
Kedua, transisi energi masih menjadi komoditi dan pembahasan di level elit nasional dan belum diturunkan atau pelibatan secara masif kepada pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha selaku stakeholders kunci dari keberhasilan menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.
Sebagai gambaran, terdapat 1,3 juta pekerja atau 1 persen yang bekerja dalam sektor energi dan 2/3 di antaranya secara langsung terlibat dalam industri batu bara.
Pemerintah perlu memitigasi dampak dan menyediakan alternatif pekerjaan bagi mereka yang terdampak langsung dalam kebijakan transisi energi ini.
Demikian halnya, pemerintah daerah seperti Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil batu bara – mitigasi yang dilakukan adalah dengan beralih pada industri kelapa sawit dari tambang – yang secara ekologi juga memiliki kendala dalam keberlanjutan dan mendorong terjadinya deforestasi kian masif.
Ketiga, beberapa kebijakan pada sektor kehutanan seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.
Regulasi tersebut menjadi salah satu landasan pembukaan kawasan hutan konservasi dengan maksud untuk pembangunan pertanian skala besar.
Implikasinya maka kuantitas hutan sebagai kawasan proteksi maupun konsevasi akan semakin berkurang, termasuk pengaruhnya terhadap penurunan keanekaragaman hayati.
Keempat, belum adanya mekanisme pengukuran dampak ataupun benefit terhadap peluncuran program Folu Net Sink 2030 sebagai pelaksanaan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Penetapan Harga Karbon dalam Rangka Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Folu Net Sink 2030 di antaranya bertujuan mengurangi GRK melalui upaya menahan laju deforestasi pada ekosistem hutan lahan kering (hutan tanah mineral), lahan gambut dan mangrove.
Kelima, peningkatan kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan hidup. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada periode 2014-2024 mencatat ribuan orang pejuang lingkungan hidup dikriminalisasi, yakni 1.086 laki-laki dan 34 perempuan, bahkan 11 orang masih anak-anak.
Sebanyak 544 orang di antaranya berlanjut ke meja hijau. Ragam pasal yang paling banyak menjerat mereka adalah (a) Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan tuduhan melakukan kekerasan saat aksi demonstrasi; (b) Pasal 335 KUHP yang biasanya berkaitan dengan pencurian di perkebunan; dan (c) Pasal 28 atau Pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang biasanya dituduh menyebar berita bohong melalui media sosial.
Merespons dinamika tersebut, Menteri LHK menerbitkan Peraturan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Namun nyatanya sampai saat ini jerat terhadap aktivis lingkungan tetap berlangsung.
Dalam upaya penurunan GRK dan kontribusi Indonesia dalam kehidupan global yang bertujuan mempertahankan eksistensi manusia serta bumi sebagai pelaksanaan prinsip intergenerational justice, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi mengenai kebutuhan pembangunan infrastruktur kebijakan, mengingat sudah tidak mampunyai kerangka hukum yang tersedia untuk menjadi “social tools” dalam adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim.
Langkah kedua yang harus ditempuh adalah melakukan evaluasi terhadap program, kebijakan dan tahapan dalam pengurangan GRK serta pemanfaatkan energi baru dan terbarukan yang berkelanjutan sebagai prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2024-2045.
Langkah ketiga selanjutnya adalah penyelarasan dengan pemerintah daerah serta swasta dan masyarakat untuk mendorong keberlanjutan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dodman dalam Cities, Settlements and Key Infrastructure (2023) memperkuat argumentasi pentingnya perencanaan partisipatif dalam penyediaan infrastruktur dan manajemen risiko untuk mengatasi perubahan iklim serta faktor-faktor pemicu risiko di lingkungan.
Penyertaan pengetahuan penduduk lokal, model komunikasi serta upaya untuk membangun kepemimpinan lokal, termasuk bagi perempuan dan pemuda merupakan contoh pendekatan inklusif dengan manfaat bersama untuk kesetaraan dalam pembangunan.
Keempat, adalah memperkuat aliansi global. Indonesia harus mampu memosisikan sebagai pemimpin global dan kawasan dalam upaya pengurangan GRK melalui berbagai komitmen dan kerja kerasnya.
Selain itu, kerja sama internasional menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk penurunan GRK melalui berbagai program dan asistensi yang berkeadilan.
Sekali lagi, krisis iklim adalah ancaman nyata. Namun, dengan adaptasi dan mitigasi yang tepat, maka risiko dapat dikelola dan Indonesia berkontribusi dalam menjaga eksistensi manusia dan planet kita.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya