KOMPAS.com - Dunia menghadapi ancaman iklim. China dan India menobatkan 2024 sebagai salah satu tahun terpanas. Bencana iklim melanda sejumlah negara, memicu tewasnya 2000 orang dan kerugian 229 miliar dollar AS.
Meski beragam aksi iklim digagas, tarik menariknya dengan dunia yang juga sedang krisis dan negara-negara yang berambisi membangun ekonomi membuat implementasinya tak maksimal. Malah, gagasan yang tak ramah lingkungan muncul lagi.
Deforestasi untuk produksi minyak nabati (sawit, kedelai, dan lainnya) adalah salah satunya. Hutan Indonesia, Amazon, dan Congo Basin yang menjadi salah satu penyimpan stok karbon dunia menghadapi ancaman.
Amazon dan Cerrado
Brazil adalah aktor utama deforestasi di Amazon dan Cerrado. Selama puluhan tahun, negara Amerika Latin itu membuka hutan untuk memproduksi kedelai dan produk turunannya. Antara tahun 2000 - 2006, hutan Brazil hilang 150.000 kilometer persegi.
Juli 2006, inisiatif moratorium kedelai mulai berjalan. Studi yang terbit di Nature Food pada 2020 menemukan, pelaksanaan moratorium berhasil mendorong penurunan deforestasi yang sangat signifikan.
WWF mencatat, luasan kebun kedelai bertumbuh dari 1,64 juta hektar pada 2007 menjadi 7,28 juta hektar pada 2022. Meskipun tidak nol, luasan yang berasal dari deforestasi hanya 250.000 hektar sejak 2008.
Ancaman deforestasi kini muncul lagi. Tahun 2024, National Congress dan Mato Grosso, salah satu state penghasil kedelai, mendorong aturan penghapusan benefit pajak pada perusahaan yang terikat kesepakatan tidak melakukan deforestasi untuk ekspansi.
Baca juga: Jangan Balikkan Kemajuan, Jangan Dukung Sawit dengan Cara Salah
Sebagai informasi, Mato Grosso memproduksi kedelai sebanyak 85,7 juta ton kedelai pada 2023-2024, lebih dari keseluruhan Argentina yang menghasilkan 50,5 juta ton kedelai pada periode yang sama.
Ancaman Brazil kini bukan hanya kedelai. Tahun 2024, Brazil juga mengusulkan pendanaan untuk proyek biofuel berbasis kelapa sawit. Jika tak dilakukan dengan hati-hati, sawit bisa menjadi ancaman deforestasi tambahan.
Congo
Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa Congo kehilangan 1,32 juta hektar hutan pada tahun 2023. Kehilangan ini mendorong emisi karbon mencapai 888 juta ton. Tren deforestasi mengalami peningkatan di negara tersebut.
World Resources Institute (WRI) mencatat, hutan di Congo dibakar untuk ditanami dalam waktu singkat dan kemudian bisa tumbuh lagi. Karena banyak warganya hidup dengan hanya Rp 30.000 sehari dan 81 persen tak punya listrik, hutan dimanfaatkan untuk produksi arang.
Meski demikian, praktik penebangan untuk penjualan kayu meningkat. Center for International Forestry Research (CIFOR) juga mencatat, ada keinginan untuk membudidayakan sawit. Hal itu, jika tak dilakukan secara berkelanjutan, mengancam kelestarian hutan.
Indonesia
WRI mencatat, deforestasi hutan primer di Indonesia sebenarnya sudah jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2010. Ada peningkatan sebesar 27 persen pada 2023, tetapi masih tergolong rendah.
Indonesia juga mengalami kemajuan dalam sektor kelapa sawit. CIFOR mencatat, 1-2 persen produk kelapa sawit yang terkait deforestasi setelah tahun 2020. Jumlah itu menunjukkan penurunan signifikan dari 54 persen pada 1995-200 dan 14 persen pada tahun 2010.
Meski demikian, pernyataan presiden "jangan takut deforestasi" untuk kelapa sawit membuka peluang naiknya kembali pembabatan hutan. Meski deforestasi rendah, saat ini kontributor utamanya adalah kelapa sawit.
Penting bagi Indonesia untuk bersikap tegas mencegah deforestasi. Penghilangan hutan bukan hanya akan memicu bencana iklim, tetapi membuat masyarakat sekitar kehilangan sumber pangan, papan, serta meningkatkan kesenjangan ekonomi.
Baca juga: Sebanyak Apapun, Sawit Tetap Bukan Hutan, Kenapa?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya