Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Martina A. Langi
Dosen dan Peneliti

Ph.D in Forestry from University of Queensland Australia, MSc in Forest Restoration from Lakehead University Canada, dan Insinyur Kehutanan dari IPB Bogor

Konservasi Bukan Sekadar Konsep

Kompas.com - 09/01/2025, 09:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUDAH menjadi pandangan umum bahwa Indonesia merupakan negara yang diberkahi kekayaan alam luar biasa; dari hutan tropis yang membentang luas hingga kekayaan laut tak tertandingi.

Nusantara kita memegang peran penting sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati global.

Namun, ancaman semakin menakutkan: hutan digunduli, lautan tercemar, dan ekosistem terganggu, semuanya atas nama pembangunan dan eksploitasi ekonomi.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin masa depan generasi mendatang kian suram.

Di sisi lain kita sering mendengar kata “konservasi” digaungkan di berbagai kesempatan. Namun, apa sebenarnya arti konservasi bagi kita?

Bagaimana cara menjadikan konservasi lebih dari sekadar konsep yang sekilas terdengar idealis, tetapi sulit diwujudkan?

Mari melihat isu ini secara lebih mendalam, mencari solusi nyata yang dapat diterapkan untuk menyelamatkan lingkungan penyangga kehidupan sekaligus menggerakkan masyarakat menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Hutan tropis Indonesia, yang merupakan salah satu terbesar di dunia, telah lama menjadi sumber kehidupan.

Hutan bukan hanya rumah bagi satwa liar seperti orangutan dan harimau Sumatra, tetapi juga menjadi penopang ekonomi lokal.

Sayangnya, lebih dari 24 juta hektare hutan Indonesia telah lenyap dalam dua dekade terakhir. Angka ini setara dengan kehilangan paru-paru yang menyediakan oksigen dan menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar.

Deforestasi sering kali terjadi karena tekanan ekonomi. Perkebunan sawit, tambang, dan pembangunan infrastruktur menjadi alasan utama hilangnya hutan.

Namun, akar masalahnya lebih dalam lagi, yakni kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan.

Di sini, masyarakat adat memainkan peran penting. Dengan kearifan lokal yang telah teruji selama ratusan tahun, masyarakat adat tahu bagaimana menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian.

Sebagai contoh, tradisi Subak di Bali, Sasi di Maluku dan Papua, kearifan Dayak di Kalimantan, Pela Gandong di Maluku, Pranata Mangsa di Jawa, Awig-Awig di Lombok, Mangareng di Sulawesi Selatan, Nggaki Ngdu di Flores, Ngaben Lahan di Sumatera, dan Mapalus di Sulawesi Utara.

Semuanya menegaskan pentingnya penghormatan terhadap alam dalam budaya Indonesia.

Melihat potensi keharmonisan antara manusia dan alam yang ditunjukkan oleh masyarakat adat melalui kearifan lokalnya, pendekatan ini juga dapat diterapkan dalam sektor pariwisata yang berpihak pada keberlanjutan.

Pariwisata adalah sektor penting bagi perekonomian Indonesia, tetapi sering kali justru menjadi penyebab kerusakan lingkungan.

Limbah plastik di pantai Bali, karang yang rusak di Raja Ampat, hingga hutan yang ditebangi demi vila dan hotel adalah contoh nyata dampak pariwisata massal yang tidak terkendali.

Namun, ekowisata menawarkan jalan keluar. Ekowisata adalah bentuk pariwisata yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga melibatkan masyarakat lokal secara langsung.

Sayangnya, lagi-lagi tidak semua inisiatif ekowisata benar-benar sesuai dengan prinsip keberlanjutan. Banyak tempat wisata yang memanfaatkan label “eko” hanya sebagai alat pemasaran.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa ekowisata benar-benar dijalankan dengan standar tinggi yang melindungi alam dan melibatkan masyarakat lokal.

Meskipun ekowisata menawarkan solusi terhadap dampak buruk pariwisata massal, keberhasilannya memerlukan dukungan dari berbagai aspek, termasuk teknologi dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan.

Teknologi memiliki potensi besar untuk memperkuat upaya konservasi yang menjadi fondasi ekowisata sejati.

Sementara kebijakan yang berpihak pada lingkungan dapat memastikan bahwa inisiatif ekowisata tidak hanya menjadi slogan kosong, tetapi benar-benar membawa manfaat nyata bagi alam dan masyarakat lokal.

Kemajuan teknologi memberikan peluang besar untuk konservasi. Penggunaan satelit dan drone dapat memantau hutan secara real-time, sehingga pembalakan liar lebih mudah terdeteksi.

Teknologi blockchain bahkan dapat memastikan bahwa pendanaan untuk program konservasi tidak disalahgunakan.

Namun, teknologi saja tidak cukup. Kebijakan yang mendukung keberlanjutan adalah fondasi utama. Pemerintah harus memberikan insentif kepada pelaku usaha yang mengadopsi praktik ramah lingkungan.

Misalnya, petani kecil yang beralih ke agroforestri atau pelaku wisata yang membangun fasilitas ramah lingkungan perlu mendapatkan dukungan berupa subsidi atau pengurangan pajak.

Selain itu, pendidikan lingkungan harus menjadi prioritas. Anak-anak di sekolah perlu diajarkan tentang pentingnya menjaga alam. Kesadaran tentang konservasi harus menjadi bagian dari budaya bangsa, bukan hanya diskusi elitis di ruang seminar.

Banyak orang mungkin berpikir bahwa isu konservasi hanya relevan bagi pecinta alam atau aktivis lingkungan. Namun, kenyataannya, konservasi adalah kepentingan semua orang.

Ketika hutan hilang, risiko banjir dan kekeringan meningkat. Ketika terumbu karang rusak, nelayan kehilangan mata pencaharian. Dan ketika ekosistem terganggu, seluruh rantai kehidupan, termasuk manusia, akan terdampak.

Konservasi juga memiliki dimensi ekonomi yang besar. Keberlanjutan tidak berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi, tetapi justru memastikan bahwa sumber daya alam dapat digunakan untuk jangka panjang.

Misalnya, hutan yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan produk seperti madu, rotan, dan tanaman obat tanpa merusaknya. Begitu pula dengan laut yang sehat, dapat mendukung perikanan berkelanjutan.

Akhirnya, untuk menjadikan konservasi sebagai prioritas nyata, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak, dimulai dengan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah adat yang memungkinkan masyarakat adat menjaga hutan sesuai cara mereka yang berkelanjutan.

Selain itu, pengembangan ekowisata berbasis lokal yang melibatkan masyarakat setempat tidak hanya mendukung perekonomian mereka, tetapi juga menjaga kelestarian alam.

Pemanfaatan teknologi yang relevan memungkinkan respons yang lebih cepat dan efektif. Pemerintah juga perlu mendorong kebijakan berbasis keberlanjutan dengan memberikan insentif kepada pelaku usaha yang menjalankan praktik ramah lingkungan, sambil memastikan edukasi tentang pentingnya konservasi dimulai sejak dini dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercipta kesadaran kolektif akan pentingnya melindungi bumi bagi generasi mendatang.

Konservasi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi pemimpin global dalam pelestarian alam.

Namun, ini hanya bisa terwujud jika kita semua—pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha—bersatu untuk menjadikan konservasi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari; dengan kata lain merevitalisasi kearifan lokal menjadi praktik global demi keberlanjutan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau