Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
David Firnando Silalahi
ASN Kementerian ESDM

Pelayan rakyat (ASN) di Kementerian ESDM, Kandidat Doktor pada School of Engineering, Australian National University, dengan topik penelitian "100% Renewable Energy Integration for Indonesia"

RUPTL PLN dan Pragmatisme Transisi Energi

Kompas.com - 31/05/2025, 09:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PELUNCURAN Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2035 oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Senin, 26 Mei 2025, kembali memantik perdebatan publik.

Di satu sisi, ada apresiasi terhadap komitmen meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT). Namun di sisi lain, kritik tajam dilontarkan karena rencana penambahan kapasitas pembangkit fosil sebesar 16,6 GW atau 24 persen dari total 69,6 GW—termasuk PLTU 6,3 GW dan PLTG 10,3 GW.

Sebagian kalangan bahkan mengecam RUPTL ini sebagai dokumen yang "buruk" karena dinilai belum mencerminkan transisi menuju 100T.

Sebagai peneliti yang menulis disertasi PhD bertajuk "100% Renewable Energy Integration in Indonesia", saya termasuk pendukung EBT.

Riset yang saya kerjakan di The Australian National University ini menemukan bahwa Indonesia sebetulnya memungkinkan untuk bertransisi sepenuhnya ke energi terbarukan—potensi sumber daya tersedia, teknologi baterai ada, dan harganya relatif ekonomis.

Namun demikian, saya harus mengakui bahwa dalam praktiknya, transisi energi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Tidak ada solusi sempurna, dan kompleksitas teknis, ekonomi, serta sosial melekat pada transisi skala raksasa ini.

Baca juga: Dua Sisi Gasifikasi Batu Bara

Kritik yang menuntut kesempurnaan instan seringkali terjebak dalam Nirvana Fallacy—kekeliruan logis yang menolak solusi realistis karena membandingkannya dengan ideal yang belum dapat dicapai.

Dalam konteks RUPTL, fallacy ini muncul ketika kita berharap sistem kelistrikan Indonesia dapat serta-merta beralih sepenuhnya ke EBT, mengabaikan kompleksitas teknis, ekonomi, dan sosial yang melekat pada transisi energi skala nasional.

Mengkritisi RUPTL semata karena masih mengakomodasi pembangkit fosil, tanpa mempertimbangkan realitas infrastruktur dan kebutuhan stabilitas sistem, adalah manifestasi nyata dari kekeliruan logis ini.

100T tidak bisa instan

Pembangkit listrik tenaga surya hanya beroperasi saat ada cahaya matahari, pembangkit listrik tenaga baru bergantung pada hembusan angin.

Hal ini menyebabkan fluktuasi pasokan yang signifikan. Untuk menjaga stabilitas sistem, dibutuhkan kapasitas cadangan dan sistem penyimpanan energi masif.

Teknologi penyimpanan seperti baterai lithium berskala besar memang dapat dibangun dalam waktu relatif singkat, tapi biayanya masih sangat tinggi.

Indonesia memiliki potensi pumped hydro storage yang besar dengan biaya lebih murah, tetapi pembangunannya memerlukan perencanaan matang dan alokasi waktu yang cukup panjang.

Indonesia memiliki cadangan batu bara melimpah dengan harga relatif terjangkau. Menghentikan total penggunaan batu bara dalam waktu singkat tanpa alternatif memadai sama dengan mempertaruhkan stabilitas pasokan listrik nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur pembangkit fosil yang sudah terbangun merupakan aset bernilai triliunan rupiah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Pemerintah
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Pemerintah
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
LSM/Figur
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Pemerintah
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Pemerintah
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Pemerintah
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
LSM/Figur
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pemerintah
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Swasta
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Pemerintah
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Pemerintah
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BUMN
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Pemerintah
Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Pemerintah
Kekayaan Sumber Daya di Indonesia: Antara Berkah dan Kutukan
Kekayaan Sumber Daya di Indonesia: Antara Berkah dan Kutukan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau