Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas menghasilkan emisi karbon.
Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Nantinya penerimaan dari pajak karbon yang dipungut oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk mengendalikan perubahan iklim.
Dalam penjelasan UU No 7/2021, pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
Sedangkan tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.
Baca juga: Pemerintah Masih Godok Aturan Pajak Karbon
Jadi dengan kata lain, pemerintah akan mengimplementasikan pajak karbon secara penuh, baik melalui pembelian barang maupun aktivitas yang menghasilkan emisi karbon mulai tahun 2025.
Sayangnya sejak adanya regulasi pajak karbon, pemerintah telah berulangkali menunda pelaksanaan pajak karbon.
Penundaan pajak karbon dimulai dari 1 April 2022, 1 Juli 2022, hingga pengumuman Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tentang penundaan pajak karbon hingga tahun 2025 dalam pembukaan Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022, Jakarta, Kamis (13/10/2022).
Padahal pajak karbon sangat penting dan sentral bagi Indonesia digunakan untuk membiayai kegiatan pengendalian dan pengurangan emisi karbon/gas rumah kaca (GRK).
Pengalaman negara lain yang telah menerapkan pajak karbon terlebih dahulu, perlu dipelajari dan dikaji oleh pemerintah Indonesia sebagai bahan komparasi tentang pajak karbon.
Di Korea Selatan, misalnya, pajak karbon yang dikenakan selama satu tahun pada industri dengan kapasitas dan jenis tertentu sebenarnya lebih ditujukan untuk dapat mengumpulkan data dan informasi emisi pada industri-industri tersebut, untuk kemudian diimplementasikan perdagangan karbon jenis cap and trade.
Pada 2020 lalu, setidaknya tercatat ada tiga negara, yaitu Latvia, Kanada, dan Irlandia yang berhasil melakukan penyesuaian dan menaikkan tarif pajak karbonnya sampai lebih dari 30 persen.
Kanada bahkan berhasil menaikkan tarif pajak karbonnya dari 23,88 dollar AS ke 31,83 dollar AS dengan persetujuan seluruh masyarakat dan sektor bisnis yang terlibat.
Hadi Setiawan, peneliti Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa kebutuhan biaya mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030, mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun.
Dana sebesar itu, sudah tentu tidak dapat mengandalkan APBN kita sekarang yang ruang fiskalnya terbatas.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya