KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, progres transisi energi di Indonesia masih lambat. Ketergantungan terhadap batu bara masih jadi persoalan utama.
Fabby menuturkan, banyak orang menilai batu bara penting karena selain menjadi penerimaan negara, juga menjadi andalan bagi tenaga listrik nasional.
"Kalau kita bicara khusus di dalam konteks Indonesia, masih banyak orang yang melihat batu bara itu penting," kata Fabby saat dihubungi Kompas.com, Jumat (17/12025).
Baca juga: AS Keluar Perjanjian Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Bisa Terganggu
Anggapan tersebut membuat Indonesia sulit untuk beranjak alias move on dari batu bara.
Padahal bila dibandingkan, ujar Fabby, biaya pembangkitan dari energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil seperti batu bara.
"(Pembangkitan listrik) dari batu bara itu enggak murah. Di Indonesia murah karena disubsidi," tutur Fabby.
Subsidi yang dimaksud Fabby adalah melalui kebijakan domestic market obligation (DMO) yang mematok harga batu bara untuk pembangkit listrik PLN sebesar 70 dollar AS per ton.
Dari segi pendapatan negara, Fabby menuturkan ketergantungan terhadap produksi batu bara untuk ekspor membuat situasi transisi energi menjadi semakin rumit.
Baca juga: Jelang 100 Hari Prabowo-Gibran, Janji Transisi Energi Didesak Diwujudkan
"Memang enggak mudah transisi energi, apalagi zaman-zaman sekarang di mana negara butuh penerimaan besar dan salah satu sumber penerimaan negara terbesar itu adalah dari mengekspor batu bara," papar Fabby.
Fabby menuturkan, jika pemerintah benar-benar serius untuk bertransisi energi, harusnya sumber terbarukan perlu digenjot.
"Ini kan enggak, karena ada ketakutan bahwa PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) intermitten (tergantung cuaca), malah dikecilkan. Padahal yang bisa cepat untuk menambah bawaan energi terbarukan itu adalah PLTS, PLTS atap khususnya," tutur Fabby.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan, bauran energi baru terbarukan (EBT) ada di kisaran 14 persen pada 2024.
Di satu sisi, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) bauran EBT ditarget 23 persen pada 2025 alias tahun ini.
Baca juga: BRICS Jadi Jalur Negosiasi Tambahan Transisi Energi RI
Untuk mencapai target tersebut, tahun 2024 seharusnya bauran EBT ada pada kisaran 19,49 persen pada 2024.
Di sisi lain, meski batu bara ditarget turun, konsumsi batu bara di dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data Handbook Of Energy & Economic Statistics of Indonesia (HEESI) 2024 yang dirilis Kementerian ESDM, jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2013 kapasitas terpasang PLTU batu bara tercatat 23.812 megawatt (MW). Pada 2020, kapasitas terpasang PLTU batu bara naik dua kali lipat menjadi 49.756 MW.
Konsumsi batu bara untuk kebutuhan energi juga meningkat selama 10 tahun terakhir.
Dari 42 juta setara barel minyak pada 2013 melonjak tujuh kali lipat pada 2023 menjadi 316 juta setara barel minyak. Bila dikonversikan, konsumsi batu bara untuk energi sepanjang tahun lalu sekitar 66 juta ton untuk energi.
Baca juga: Bandara Heathrow SIapkan 86 Juta Poundsterling untuk Transisi ke Avtur Berkelanjutan
Kendati pun demikian, pemerintah masih berencana menurunkan target bauran EBT melalui revisi PP KEN.
Dalam draf RPP KEN yang baru, bauran EBT ditarget turun menjadi antara 17 sampai 19 persen pada 2025.
Dalam peta jalan transisi energi RPP KEN tersebut, bauran EBT ditargetkan 19-21 persen pada 2030.
Lalu pada 2030 sekitar 25-26 persen, kemudian pada 2040 ditargetkan mencapai 38-41 persen, hingga pada 2060 mendatang sebesar 70-72 persen.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhy menyampaikan, bahkan dengan penurunan target EBT pun, dia tidak yakin dapat tercapai.
Menurut Fahmy, ada berbagai kontradiksi yang disampaikan oleh pemerintah. Di satu sisi menargetkan bauran EBT, namun di sisi lain juga mendorong produksi energi fosil.
"Ini menandakan pemerintah masih akan terus meningkatkan produksi bahan bakar fosil," ujar Fahmy kepada Kompas.com.
Baca juga: RI Gabung BRICS, Saatnya Negara Berkembang Atur Sendiri Agenda Transisi Energi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya