BELAKANGAN ini, dunia keuangan dan bisnis sedang diguncang perdebatan panas soal Environmental, Social, and Governance (ESG). Dari awalnya dipuja sebagai kunci masa depan bisnis berkelanjutan, ESG kini seolah menjadi "musuh publik" bagi banyak pihak.
Salah satu indikasi terbesar datang dari CEO BlackRock, Larry Fink, yang dulu merupakan pendukung berat ESG, tetapi kini enggan menggunakan istilah tersebut lagi.
Bahkan, beberapa perusahaan besar di AS mulai menghapus ESG dari laporan dan strategi komunikasi mereka.
Apakah ini pertanda kematian ESG? Atau justru ESG sedang mengalami transformasi besar?
Ada beberapa fakta yang cukup mengejutkan tentang ESG belakangan ini. Survei Bloomberg Intelligence menemukan bahwa banyak investor global dan CEO masih menganggap ESG sangat penting, tapi mereka ragu bagaimana menerapkannya di tengah tekanan politik dan ekonomi.
Di Amerika Serikat, dua pertiga pemilih mengatakan mereka tidak ingin perusahaan mengambil sikap politik (Bloomberg Intelligence, 2023).
Bahkan, hampir 50 persen orang mengaku berhenti menggunakan produk perusahaan yang dianggap memiliki agenda politik tertentu (Financial Times, 2023).
Di sisi lain, ESG juga menghadapi kritik keras karena dinilai lebih fokus pada "branding" ketimbang aksi nyata.
Skandal greenwashing—di mana perusahaan berpura-pura ramah lingkungan demi citra—juga makin sering terungkap.
Contohnya, beberapa perusahaan Brasil yang digadang-gadang sebagai pemimpin ESG justru berusaha menghindari kewajiban mereka dalam program karbon Renovabio (Financial Times, 2024). Ironis, bukan?
Paula Kovarsky, seorang eksekutif senior di bidang keberlanjutan, berpendapat bahwa ekspektasi terhadap ESG terlalu tinggi.
Ketika dunia terguncang oleh pandemi, resesi, perang Ukraina, hingga konflik Timur Tengah, banyak perusahaan yang menyadari bahwa implementasi ESG tidak semudah membalik telapak tangan.
Biaya tinggi, regulasi ketat, dan ketidakpastian ekonomi membuat mereka mundur teratur. ESG, yang awalnya dianggap sebagai "sulap kapitalisme", kini justru dipertanyakan efektivitasnya.
Namun, seperti yang dikatakan oleh Michael Maslansky, masalah utama ESG bukan pada substansinya, melainkan pada cara penyampaiannya.
ESG terlalu sering dikaitkan dengan moralitas yang dipaksakan, sehingga banyak yang merasa teralienasi. Akibatnya, banyak perusahaan kini lebih suka berbicara soal "Responsible Business" daripada "ESG".
Amerika Serikat menjadi medan pertempuran utama untuk ESG. Partai Republik dan media konservatif terus menyerang ESG sebagai bentuk "woke capitalism" (New York Times, 2024).
Ini membuat perusahaan-perusahaan besar di AS harus berhati-hati dalam komunikasi mereka. Beberapa bank investasi, bahkan menghadapi tuntutan hukum karena dianggap melakukan kartel anti-batu bara dengan dalih ESG.
Di sisi lain, China justru semakin agresif dalam strategi hijau mereka. China menjadi pemain dominan dalam produksi baterai lithium, kendaraan listrik, dan investasi energi terbarukan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
China melihat ESG bukan sebagai isu moral, tapi sebagai alat geopolitik dan ekonomi untuk memperkuat pengaruh globalnya.
Indonesia berada di posisi yang menarik dalam pergeseran ESG ini. Di satu sisi, Indonesia punya peluang besar menarik investasi hijau, terutama dari China.
Proyek-proyek seperti hilirisasi nikel dan pengembangan baterai kendaraan listrik sedang digarap dengan dukungan modal besar dari Beijing (Global Times, 2024).
China telah berinvestasi miliaran dollar dalam infrastruktur ini, menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi utama untuk rantai pasokan kendaraan listrik global (Reuters, 2024).
Selain itu, proyek-proyek ini juga didorong oleh insentif pajak dan kemudahan regulasi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia (Jakarta Post, 2024).
Namun, ada ancaman dari kebijakan Amerika Serikat yang semakin proteksionis. Jika AS benar-benar memberlakukan tarif tinggi untuk produk-produk dari BRICS (termasuk China), Indonesia bisa terkena dampaknya.
Presiden Trump telah mengancam tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS jika mereka berusaha melakukan dedolarisasi dan mengurangi ketergantungan pada dollar AS dalam perdagangan global (Reuters, 2024).
Langkah ini dapat mengganggu arus ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar rupiah.
Selain itu, produk China yang tidak bisa masuk ke AS mungkin akan membanjiri Asia Tenggara, meningkatkan persaingan dengan industri lokal dan memperumit strategi ekonomi Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara AS dan China.
Dalam dunia bisnis, ESG sejatinya bisa dikaitkan dengan teori Stakeholder Capitalism, yang menekankan bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga kepada karyawan, masyarakat, dan lingkungan.
Namun, kritik terhadap ESG justru memperlihatkan bahwa sebagian besar perusahaan masih beroperasi dalam paradigma Shareholder Primacy, di mana laba tetap menjadi tujuan utama.
Maslansky berpendapat bahwa jika ESG ingin bertahan, maka pendekatannya harus berubah menjadi lebih pragmatis dan berbasis data, bukan sekadar retorika moralitas.
ESG harus kembali ke akarnya sebagai alat untuk mengidentifikasi risiko jangka panjang dan peluang bisnis, bukan sekadar "trend" atau "branding tool".
Apa alasan ESG mengalami transformasi besar? Saat ini terjadi pergeseran dalam cara ESG diterapkan dan dikomunikasikan.
ESG yang penuh jargon dan retorika moral memang mengalami kemunduran, tetapi prinsip tanggung jawab bisnis dan keberlanjutan tetap menjadi faktor penting dalam strategi perusahaan.
Perusahaan yang ingin bertahan harus lebih cerdas dalam menyusun strategi mereka—mengutamakan keuntungan bisnis, efisiensi operasional, dan manajemen risiko, tanpa terjebak dalam sekadar pencitraan.
Indonesia dapat memanfaatkan momentum untuk menyesuaikan strategi secara konkret. Dengan meningkatnya tekanan global terhadap ESG, Indonesia harus memperkuat kebijakan energi hijau dan regulasi keberlanjutan agar tetap kompetitif dalam menarik investasi hijau.
Hilirisasi sumber daya alam seperti nikel dan pengembangan industri baterai listrik dapat menjadi keunggulan utama jika didukung oleh insentif pajak dan kebijakan yang mendukung transisi energi.
Selain itu, diplomasi ekonomi yang cermat diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian global, terutama dalam mengamankan pasar ekspor di tengah ancaman proteksionisme dan tarif perdagangan tinggi yang diterapkan AS terhadap negara-negara BRICS.
ESG saat ini mengalami evolusi dari cara kita memandang bisnis di era yang penuh tantangan ini. Yang berubah bukan prinsip dasarnya, tapi strategi penerapannya dalam kebijakan ekonomi nasional.
Di Indonesia, kebijakan terbaru dari pemerintahan Prabowo menunjukkan pendekatan pragmatis terhadap ESG, tetapi masih menyisakan tantangan besar.
Fokus pada industrialisasi hijau dan hilirisasi nikel sering kali lebih menguntungkan investor besar dibandingkan dengan masyarakat lokal yang terdampak eksploitasi sumber daya alam.
Transisi energi yang dijanjikan belum sepenuhnya menyentuh aspek keberlanjutan sosial, seperti perlindungan hak tenaga kerja di sektor pertambangan dan pengelolaan dampak lingkungan.
Sementara itu, insentif fiskal yang diberikan lebih banyak mengarah pada kepentingan industri besar, bukan pada penguatan ekonomi berbasis komunitas yang lebih berkelanjutan.
Dalam menghadapi dinamika perdagangan internasional, kebijakan ini masih perlu penyesuaian agar benar-benar dapat menjawab tantangan keberlanjutan tanpa hanya menjadi strategi ekonomi jangka pendek.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya