Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Bahan Bakar Nabati sebagai Pilar Swasembada Energi

Kompas.com - 05/02/2025, 21:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Diversifikasi Energi sebagai Solusi

Untuk mengatasi ketergantungan pada impor BBM, diversifikasi energi menjadi langkah strategis. Diversifikasi berarti mencari alternatif sumber energi yang lebih berkelanjutan, salah satunya adalah BBN.

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan BBN dan merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Diversifikasi bahan baku sangat penting agar Indonesia tidak hanya bergantung pada sawit.

Beberapa sumber energi alternatif lain, seperti tebu, singkong, serta limbah pertanian seperti jerami, sekam padi, dan limbah kayu, dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan BBN generasi ke-2. 

Program BBN Indonesia

Pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk mengembangkan BBN, salah satunya adalah kebijakan mandatori biodiesel.

Saat ini, Indonesia menerapkan program B35, yaitu mencampur 35 persen biodiesel ke dalam solar. Program ini dapat mengurangi emisi karbon hingga 34,9 juta ton karbon dioksida (CO2).

Pada 2025, rencana pencampuran biodiesel akan ditingkatkan menjadi B40, yang diproyeksikan menghemat devisa hingga Rp147,5 triliun.

Selain itu, program ini juga meningkatkan nilai tambah minyak sawit sebesar Rp20,9 triliun, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan mengurangi emisi karbon.

Namun, semakin tinggi kadar biodiesel dalam campuran, semakin besar pula kebutuhan subsidi untuk menyeimbangkan harga antara biodiesel dan solar.

Pada Tabel di bawah ini diperlihatkan konsumsi biodiesel pada tahun 2023 telah melampaui penggunaan minyak sawit untuk pangan, sehingga berpotensi mengganggu ketahanan pangan.

Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (2)

Indonesia pun masih mengimpor 3,1 juta ton beras, 5,1 juta ton gula, serta 10,6 juta ton gandum pada 2023, sementara produksi beras domestik hanya 30,9 juta ton. Sehingga, ketergantungan impor karbohidrat domestik mencapai 44,3 persen.

konsumsi sawit

Data Konsumsi Produk Sawit Domestik 2021-2023 (dalam 1.000 ton) (Sumber: Gapki)

Jika B50 diterapkan pada 2026, maka kebutuhan biodiesel akan meningkat. Hal ini bisa mengurangi impor solar atau mengekspor biodiesel, yang bermanfaat bagi devisa negara dan kualitas udara global.

Namun, karena bahan bakunya berasal dari minyak sawit, pasokan untuk pangan seperti minyak goreng bisa terganggu.

Untuk mengatasi ini, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) bagi produk sawit diperlukan guna menjaga pasokan dalam negeri.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau