Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Bahan Bakar Nabati sebagai Pilar Swasembada Energi

Kompas.com - 05/02/2025, 21:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara itu, tidak seperti biodiesel, pengembangan bioetanol di Indonesia masih menghadapi tantangan, seperti rendahnya investasi dan keterbatasan teknologi budidaya bahan baku seperti tebu, jagung, dan singkong.

Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (3)

Kondisi Global dan Strategi Pasar

Saat ini, lebih dari 50 negara di dunia telah menerapkan kebijakan pencampuran BBN dengan BBM fosil. Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India mendominasi produksi bioetanol. Sedangkan Indonesia, AS, dan Brasil mendominasi produksi biodiesel

Jika sukses menerapkan Program B40 (2025) dan B50 (2026) dalam lima tahun ke depan, maka Indonesia bisa menjadi pemain utama di pasar biodiesel global dan memperluas ekspor ke Asia-Afrika.

Namun, seperti telah dijelaskan di atas, kenaikan konsumsi minyak sawit untuk biodiesel berpotensi mengurangi pasokan minyak sawit untuk kebutuhan pangan.

Selain itu, jika pembukaan lahan sawit tidak terkendali, citra sawit Indonesia bisa semakin terpuruk di mata dunia.

Untuk mengatasi hal ini, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas budi daya sawit, mencari bahan baku alternatif, dan memperkuat diplomasi global terkait upaya pelestarian lingkungan.

Kebutuhan Lahan, Kilang dan Teknologi

Pengembangan BBN membutuhkan lahan yang cukup luas. Sebagai contoh, untuk mengurangi impor solar sebanyak 5 juta kiloliter pada tahun 2023, diperlukan sekitar 1,168 juta hektar lahan sawit. Luas lahan ini hanya setara dengan 0,61 persen dari total luas daratan Indonesia.

Lahan dengan kemiringan hingga 20 persen dapat dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Sedangkan lahan yang lebih curam digunakan untuk tanaman bioenergi seperti sagu.

Dengan metode pertanian yang lebih efisien dan pendekatan yang tidak hanya fokus pada satu jenis tanaman (multikultur), maka Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor BBM tanpa harus mengorbankan ketahanan pangan.

Selain lahan, diperlukan juga peningkatan kapasitas kilang sekitar 86,2 ribu barel per hari (Bph) untuk mengolah minyak sawit mentah (CPO) menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang merupakan komponen utama biodiesel.

Untuk meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi, teknologi Hydrodeoxygenation (HDO) dapat diterapkan.

Teknologi HDO memungkinkan pengolahan CPO menjadi berbagai jenis bahan bakar seperti bensin, avtur, solar, dan LPG.

Proses ini menghilangkan kandungan oksigen dalam minyak nabati dengan menggunakan hidrogen bertekanan tinggi dan katalis, menghasilkan bahan bakar yang lebih stabil dan berkualitas tinggi.

Agar teknologi ini dapat diterapkan secara luas di Indonesia, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta, investasi jangka panjang, serta regulasi yang mendukung.

Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (4)

 

Jika langkah ini tidak segera dilakukan, maka negara lain seperti Malaysia atau Brasil dapat lebih dulu memanfaatkan peluang besar menjadi negara industri energi terbarukan berbasis biomassa ini.

Tantangan dan Solusi

Meskipun berpotensi besar, pengembangan BBN di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan:

  1. Ketergantungan pada Impor BBM – Defisit energi akibat impor BBM membebani APBN dan membuat Indonesia rentan terhadap lonjakan harga minyak dunia.
  2. Persaingan Pemanfaatan Sumber Daya – Bahan baku BBN seperti sawit dan tebu juga dibutuhkan untuk pangan. Peningkatan konsumsi BBN dapat mengurangi pasokan dan menaikkan harga bahan pangan.
  3. Kebutuhan Lahan yang Besar – Jika tidak dikelola dengan baik, perluasan lahan untuk BBN berisiko meningkatkan deforestasi dan konflik lahan.
  4. Investasi Teknologi dan Infrastruktur – Produksi BBN, terutama bioetanol dan biodiesel generasi kedua, masih terhambat oleh biaya tinggi serta keterbatasan teknologi dan kapasitas kilang.
  5. Tekanan Internasional dan Isu Lingkungan – Industri sawit Indonesia sering dikritik karena dampak ekologisnya, yang dapat mempersulit ekspor dan hubungan dagang global.

Baca juga: Gas dan Rem Energi Terbarukan: Ambisi Vs Realitas Indonesia

Untuk mengatasi tantangan ini, langkah strategis yang diperlukan meliputi:

  • Diversifikasi Bahan Baku – Menggunakan sumber alternatif seperti sagu, singkong, dan limbah pertanian guna mengurangi ketergantungan pada sawit dan tebu.
  • Peningkatan Efisiensi Produksi – Mengadopsi teknologi HDO dan metode pertanian berkelanjutan.
  • Optimalisasi Lahan – Memanfaatkan lahan non-produktif untuk tanaman bioenergi agar tidak mengganggu lahan pangan.
  • Kebijakan DMO – Menjamin ketersediaan minyak sawit dan bahan baku lain untuk kebutuhan domestik sebelum digunakan untuk BBN.
  • Diplomasi dan Sertifikasi Berkelanjutan – Memperkuat citra industri sawit dengan standar ramah lingkungan dan praktik tata kelola lahan yang baik.
  • Reformasi Subsidi Energi – Mengalihkan subsidi BBM fosil secara bertahap ke energi bersih.

Kesimpulan

Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menghemat triliunan rupiah per tahun dan mengalihkannya ke sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur hijau.

"Indonesia kini berada di persimpangan jalan menuju kemandirian energi dan pangan. Apakah kita siap mewujudkannya?"

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau