Sementara itu, tidak seperti biodiesel, pengembangan bioetanol di Indonesia masih menghadapi tantangan, seperti rendahnya investasi dan keterbatasan teknologi budidaya bahan baku seperti tebu, jagung, dan singkong.
Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (3)
Saat ini, lebih dari 50 negara di dunia telah menerapkan kebijakan pencampuran BBN dengan BBM fosil. Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India mendominasi produksi bioetanol. Sedangkan Indonesia, AS, dan Brasil mendominasi produksi biodiesel
Jika sukses menerapkan Program B40 (2025) dan B50 (2026) dalam lima tahun ke depan, maka Indonesia bisa menjadi pemain utama di pasar biodiesel global dan memperluas ekspor ke Asia-Afrika.
Namun, seperti telah dijelaskan di atas, kenaikan konsumsi minyak sawit untuk biodiesel berpotensi mengurangi pasokan minyak sawit untuk kebutuhan pangan.
Selain itu, jika pembukaan lahan sawit tidak terkendali, citra sawit Indonesia bisa semakin terpuruk di mata dunia.
Untuk mengatasi hal ini, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas budi daya sawit, mencari bahan baku alternatif, dan memperkuat diplomasi global terkait upaya pelestarian lingkungan.
Pengembangan BBN membutuhkan lahan yang cukup luas. Sebagai contoh, untuk mengurangi impor solar sebanyak 5 juta kiloliter pada tahun 2023, diperlukan sekitar 1,168 juta hektar lahan sawit. Luas lahan ini hanya setara dengan 0,61 persen dari total luas daratan Indonesia.
Lahan dengan kemiringan hingga 20 persen dapat dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Sedangkan lahan yang lebih curam digunakan untuk tanaman bioenergi seperti sagu.
Dengan metode pertanian yang lebih efisien dan pendekatan yang tidak hanya fokus pada satu jenis tanaman (multikultur), maka Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor BBM tanpa harus mengorbankan ketahanan pangan.
Selain lahan, diperlukan juga peningkatan kapasitas kilang sekitar 86,2 ribu barel per hari (Bph) untuk mengolah minyak sawit mentah (CPO) menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang merupakan komponen utama biodiesel.
Untuk meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi, teknologi Hydrodeoxygenation (HDO) dapat diterapkan.
Teknologi HDO memungkinkan pengolahan CPO menjadi berbagai jenis bahan bakar seperti bensin, avtur, solar, dan LPG.
Proses ini menghilangkan kandungan oksigen dalam minyak nabati dengan menggunakan hidrogen bertekanan tinggi dan katalis, menghasilkan bahan bakar yang lebih stabil dan berkualitas tinggi.
Agar teknologi ini dapat diterapkan secara luas di Indonesia, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta, investasi jangka panjang, serta regulasi yang mendukung.
Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (4)
Jika langkah ini tidak segera dilakukan, maka negara lain seperti Malaysia atau Brasil dapat lebih dulu memanfaatkan peluang besar menjadi negara industri energi terbarukan berbasis biomassa ini.
Meskipun berpotensi besar, pengembangan BBN di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan:
Baca juga: Gas dan Rem Energi Terbarukan: Ambisi Vs Realitas Indonesia
Untuk mengatasi tantangan ini, langkah strategis yang diperlukan meliputi:
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menghemat triliunan rupiah per tahun dan mengalihkannya ke sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur hijau.
"Indonesia kini berada di persimpangan jalan menuju kemandirian energi dan pangan. Apakah kita siap mewujudkannya?"
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya