Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Swasembada Energi Bukan Mimpi (3)

Kompas.com - 10/01/2025, 15:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Melanjutkan artikel sebelumnya tentang "Swasembada Energi Bukan Mimpi bagian kedua", pada bagian ketiga ini penulis membahas Ketahanan Energi Semu dalam konteks menuju Swasembada Energi dan Indonesia Emas 2045.

Pemerintah baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan program Swasembada Energi. Presiden mengatakan bahwa dalam situasi krisis global, setiap negara akan mengutamakan kepentingan domestiknya terlebih dahulu.

Di tengah ketegangan geopolitik global, ketergantungan pada sumber energi dari luar negeri menjadi ancaman serius.

Baca juga: Emisi dari Energi Jerman Turun Drastis, tetapi Mandek di Transportasi

Hal ini disampaikan pada pidato pertamanya usai Pengucapan Sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, tanggal 20 Oktober 2024.

Meskipun Indonesia kaya akan ragam Sumber Daya Energi (SDE), baik berupa sumber energi Fosil maupun EBT, namun masih sangat sedikit yang termanfaatkan dalam bentuk energi final.

Atas dasar ini, Presiden berkomitmen untuk mewujudkan swasembada energi guna menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Penulis meyakini bahwa Indonesia bisa menjadi negara swasembada energi, jika energi primer dalam bauran dikelola sedemikian hingga porsi antara energi fosil dan EBT berlangsung optimal.

Banyak kalangan mempertanyakan mengapa harus swasembada energi, atau setidaknya belum tahu bagaimana caranya. Hal ini karena menjadi negara swasembada energi jauh lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama ketimbang mewujudkan ketahanan energi.

Dalam konteks ketahanan energi, Dewan Energi Nasional (DEN) telah merilis Indeks Ketahanan Energi (IKE) Indonesia dengan skor 6,64, atau dalam rentang [6,0 - 7,99] yang dikategorikan sebagai tahan.

Dalam perhitungannya, DEN telah menggunakan empat aspek: Ketersediaan (Availability), Aksesibilitas (Accesability), Keterjangkauan (Affordability), dan Penerimaan (Acceptability).

Ketersediaan dikaitkan dengan jaminan Pasokan, Aksesibilitas dengan Infrastruktur, Keterjangkauan dengan volatilitas Harga, dan Penerimaan dikaitkan dengan dampak Lingkungan.

Baca juga: Bakal Dirilis Tahun Ini, Biodiesel B40 Berpeluang Percepat Transisi Energi

Pertanyaan: “Apakah benar ketahanan energi Indonesia ‘tahan’?”

Cadangan Penyangga 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kilas balik sejarah sekitar setengah abad yang lalu, ketika terjadi perang antara Arab Saudi dan sekutunya melawan Israel yang dibantu Amerika Serikat dan sekutunya. Perang ini dikenal sebagai perang Yom Kippur (Oktober 1973).

Perang tersebut telah mengakibatkan embargo minyak ke negara-negara barat oleh negara-negara pengekspor minyak anggota the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), sehingga terjadi krisis minyak dunia pertama.

Krisis ini telah berimbas ke politik dan perekonomian dunia. Harga minyak saat itu meroket dari sekitar 2,9 dollar AS per barel sebelum embargo menjadi 11,65 dollar AS per barel pada Januari 1974.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau