JAKARTA, KOMPAS.com - Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai dapat membantu pemerintah memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. JETP adalah skema pendanaan untuk membantu negara berkembang beralih dari energi fosil.
Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, mengatakan RI bisa mendapat pembiayaan hingga 170 persen dari kebutuhan transisi energi dalam dokumen JETP senilai 96,1 miliar dolar AS dengan pungutan progresif.
Dalam hal ini, pemerintah berpotensi memperoleh 35 persen dana dari kebutuhan JETP guna membiayai pembangunan jaringan listrik dan pensiun dini PLTU.
Baca juga: PLTU Hasilkan 1,67 Juta MWh Listrik Hijau Selama 2024, Diklaim Turunkan 1,87 juta Ton CO2
“Ini menunjukkan kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi,” ungkap Tata dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/2/2025).
Di samping itu, ia menyampaikan bahwa pemerintah perlu meningkatkan pungutan produksi batu bara secara progresif.
Lainnya, menerapkan pajak karbon bagi PLTU dengan batasan emisi maupun harga yang tepat. Langkah ini menjadi disinsentif bagi bisnis PLTU karena akan memangkas laba, lalu mendorong pemilik PLTU beralih ke bisnis energi baru terbarukan (EBT).
“Gap yang ada dalam pensiun dini, PLTU masih mendapat karpet merah dengan berbagai fasilitas yang membuat untungnya masih besar. Sehingga tidak ada urgensi pensiun ini. Penerapan pajak karbon ini memang berproses, tetapi harus dilakukan dari sekarang,” jelas Tata.
Baca juga: Produksi Listrik PLTS Lampaui PLTU Batu Bara di Uni Eropa
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia, menyebut banyaknya fasilitas yang diberikan ke sektor energi fosil termasuk batu bara menghambat pengembangan EBT.
Dia berpandangan, pemerintah urung mengakhiri PLTU batu bara lantaran banyaknya dana yang dialokasikan ke sektor ini.
“Akhirnya kita terkunci pada situasi di carbon lock-in. Karena sudah sayang mengucurkan uang ke sana bukannya disetop, kita malah terus bakar duit ke sana," jelas Martha.
"Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu, baru kita terapkan pajak karbon agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” tanbah dia.
Menurutnya, pemerintah harus melakukan transformasi dalam merealisasikan transisi energi agar pertumbuhan EBT meningkat. Pengurangan pengunaan energi fosil, dianggap bakal memangkas besaran subsidi dan kompensasi listrik yang mencapai Rp 500 triliun pada 2023.
“Selain itu, juga perlu ada perubahan kebijakan di industri, fiskal, keuangan, misalnya untuk menyiasati mahalnya cost of fund proyek energi terbarukan. Tidak mungkin kita berharap ada hasil berbeda dari usaha yang sama saja,” ucap Martha.
Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (Celios), Muhamad Saleh, mengungkapkan empat kebijakan yang dapat dijadikan fondasi transisi energi maupun penutupan PLTU batu bara.
Dia merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang jenis dan kriteria PLTU yang harus dimatikan, serta menunjukkan berbagai skema pembiayaan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya