Total emisi karbon energi fosil dan sumber lain menyumbang 41,6 miliar ton CO2, naik satu miliar ton CO2 dibandingkan tahun 2023.
Emisi karbon mayoritas disumbangkan oleh negara maju--yang identik dengan sejahtera atau makmur dalam tesis Acemoglu dan Robinson--itulah yang harus paling disalahkan atas makin panasnya suhu bumi pada 2024 yang meloncat di atas 1,5 derajat Celcius dibandingkan suhu masa pra-revolusi industri.
Negara maju paling bertanggungjawab karena mereka yang paling banyak menggunakan energi fosil; dari minyak, gas hingga batu bara.
Namun negara berkembang dan negara miskin juga ikut menanggung salah meskipun tak sebesar negara maju.
Dari sepuluh besar kontributor emisi karbon tahun 2023, enam negara adalah negara maju. Sisanya adalah India (3), Indonesia (6), Iran (7), dan Arab Saudi (10). Empat negara ini wajib "eling lan waspada".
Arab Saudi, sang petrodolar, contohnya merupakan negara kaya dan penduduknya sejahtera, tapi tidak memiliki institusi politik dan ekonomi yang inklusif sebagaimana disebut Acemoglu dan Robinson.
Negara monarki itu ditata oleh institusi yang ekstraktif, namun sejahtera berkat "emas hitam" yang berada di perut bumi Saudi.
Demikian juga ekonomi Republik Iran yang bergantung pada minyak, komoditas dengan cadangan terbukti nomor empat di dunia. Adapun cadangan terbukti gas alam milik Iran nomor empat di dunia (detik.com, 14 April 2024).
Baca juga: Lapisan Es Greenland Retak Sangat Cepat karena Krisis Iklim
Adapun India, kontributor emisi karbon nomor tiga dunia, rakus batu bara. Badan Energi Internasional (IEA) menaksir, India mengonsumsi batu bara lebih tinggi daripada konsumsi gabungan Uni Eropa dan Amerika Serikat tahun 2024, yaitu sebesar 1,3 miliar ton. Ini level yang menyamai rekor China--negara nomor satu pelahap batu bara.
Centang perenang emisi karbon membawa kita ke bulan penting dalam mitigasi dan aksi iklim. Bulan Februari ini adalah tenggat bagi negara-negara yang terikat dalam Perjanjian Paris 2015 untuk memperbarui rencana iklimnya secara lebih ambisius.
Namanya nationally determined contribution (NDC), yakni komitmen negara-negara tersebut untuk mengurangi emisi karbon dalam lima tahun setelah target awal dipancangkan.
Semula negeri kita menargetkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan sokongan luar negeri.
Pada 2022, ambisi NDC tadi dinaikkan menjadi 31,89 persen dengan ikhtiar mandiri serta 43,20 persen dengan bantuan internasional.
Dalam sepuluh tahun Pemerintahan Joko Widodo, ada upaya memotong emisi GRK, meskipun Indonesia tidak seradikal mayoritas negara yang peduli krisis iklim saat menargetkan nol emisi tahun 2060 mendatang--lebih lambat sepuluh tahun.
Seharusnya rute yang diambil Jokowi itu diteruskan oleh penggantinya, Presiden Prabowo Subianto.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya