Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Jejak Macan Tutul Jawa yang Terancam Punah

Kompas.com, 18 Februari 2025, 21:17 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Sintas Indonesia bersama sejumlah mitra dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencari jejak macan tutul jawa di 21 bentang alam yang tersebar di beberapa wilayah.

Hal ini dilakukan dalam kegiatan Java-Wide Leopard Survey (JWLS) untuk mendeteksi satwa yang terancam punah tersebut.

Direktur Yayasan Sintas Indonesia, Hariyo Wibisono, mengungkapkan para mitra baru memasang camera trap di 10 bentang alam, dan enam di antaranya mendeteksi keberadaan macan tutul jawa.

Baca juga: Kemenhut Deteksi Ada 34 Ekor Macan Tutul Jawa, Di Mana Lokasinya?

"Di beberapa landscape yang kami kelola, terutama di luar kawasan konservasi kami berhasil mendata banyak sekali macan tutul jawa serta satwa-satwa di lingkungan lainnya," kata Hariyo dalam acara Catatan Separuh Langkah Java-Wide Leopard Survey di Kantor Kemenhut, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2025).

Sejak dimulai pada Februari 2024, ucap dia, pencarian macan tutul jawa pun tak mudah dilakukan. Tak jarang, petugas bertemu pemburu di hutan. Di kawasan Gunung Prau, misalnya, mereka bertemu pemburu dengan senjata laras panjang.

"Jadi sekalian kami sita, kami proses hukum kemudian kami beri edukasi juga. Tetapi, yang mengembirakan setiap kali kami lewat perkampungan di pinggiran hutan kami selalu tanya ada yang berburu macan enggak? Di Pekalongan ketika kami bertanya, kami dimarah-marahin sama warga lokal (katanya) 'itu (macan) enggak boleh diburu'," tutur Hariyo.

Menurut dia, mayoritas masyarakat di sekitar hutan saat ini sudah mengerti mengenai sanksi perburuan hewan yang terancam punah. Kendati masih berburu, mereka bakal membidik hewan yang tidak dilindungi.

"Tetapi, di beberapa daerah terutama di Jawa Barat masih ada perburuan satwa langka. Terkhir kami bertemu 2021 yang berburu sebenarnya oknum, aparat. Kemudian mulai diperintahkan anggota (TNI) untuk ikut menjaga," ucap dia.

Baca juga: Kenapa Macan Tutul Jawa di TN Bromo Tengger Semeru Hitam Pekat?

Dari tujuh bentang alam yang telah disurvei, macan tutul jawa terdeteksi di Rawa Danau, Burangrang, Ciremai, Panusupan, Sindoro-Dieng, dan Bromo Tengger Semeru. Sejauh ini tim belum mendeteksi keberadaan macan tutul jawa di bentang alam Merapi Merbabu. 

Dari kamera pengintai, tim pengelola data JWLS mengidentifikasi 34 macan tutul jawa, terdiri dari 11 jantan dan 23 betina.

Sementara itu, hasil analisa genetika yang dilakukan di Laboratorium Analisis Genetik Satwa Liar Universitas Gajah Mada (UGM) telah berhasil mengidentifikasi 70 sampel kotoran milik macan tutul jawa, terdiri dari 37 jantan dan 18 betina.

Sedangkan 15 sampel sisanya masih dalam proses analisa. Tim teknis JWLS bakal menyelesaikan kegiatan survei selesai hingga 2026 mendatang.

Keberlanjutan Konservasi

Hariyo berpandangan, harus ada keberlanjutan konservasi setelah JWLS selesai dilakukan. Berdasarkan pendataannya, 80 persen camera trap yang terpasang di Gunung Sindoro merekam aktivitas macan tutul jawa.

"Ini menggembirakan sekaligus agak miris dan berbahaya. Siapa yang akan menjaga macam-macam itu di sana? Harapan kami sebenarnya nanti Sintas dengan Kementerian bisa membuat semacam pola atau sistem atau aplikasi yang bisa kami pakai untuk patroli," kata Hariyo.

Baca juga: 6 Ras Kucing yang Mirip Harimau dan Macan Tutul, Aman Dipelihara

"Patroli pengumpulan data, bagaimana ketika kami menemukan macan di lapangan, ketika konflik atau ketika ada macan kena jerat, atau ketika berada di tangan pemburu, menemukan temuan-temuan jejak, feses dan lain-lain, kami harus bagaimana?" lanjut dia.

Oleh sebab itu, Hariyo mendorong agar pihak terkait menyusun pedoman untuk pengelolaan konservasi macan tutul jawa.

Sebagai informasi, macan tutul jawa merupakan salah satu satwa langka prioritas nasional dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Macan tutul jawa terdaftar sebagai satwa terancam (endangered) di dalam daftar merah satwa terancam IUCN, dan apendiks I cites yang dilarang untuk diperdagangkan secara internasional.

Saat ini macan tutul jawa tersebar terutama di 29 petak habitat, sebagian besar adalah taman nasional. Umumnya berukuran kecil dan terisolasi satu sama lain.

Baca juga: Binatang Buas Penyerang Kambing di Sukabumi Teridentifikasi Macan Tutul

Dengan perkiraan ukuran populasi kurang lebih 350 ekor dewasa di alam, populasinya terus menurun dalam dua dekade terakhir terutama akibat fragmentasi habitat.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
LSM/Figur
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau