Kegagalan proyek tersebut umumnya disebabkan oleh kendala teknis, seperti tekanan di tempat penyimpanan karbon yang terlalu rendah dan kebutuhan energi yang sangat besar.
Sebagai gambaran, menurut International Energy Agency (IEA), jika dunia mengandalkan CCS untuk membatasi pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, maka pada tahun 2050, teknologi ini akan membutuhkan energi sebesar 26 peta - jam. Jumlah ini bahkan lebih besar dari seluruh kebutuhan energi dunia pada tahun 2022. Ini menunjukkan bahwa CCS sangat boros energi dan sulit diterapkan secara luas.
Dari segi biaya, penerapan CCS membutuhkan investasi yang sangat besar, yakni sekitar 3,5 triliun dollar AS (Rp56,7 ribu triliun) per tahun. Jumlah itu kira-kira setara dengan 2,5 kali lipat Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia dari sekarang hingga 2025.
Dana sebesar itu sebanding dengan biaya membangun 407 pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas 1 gigawatt (GW), atau deretan kincir angin berkapasitas 2.692 GW.
Adapun tiga proyek penangkapan karbon yang diklaim sukses, semuanya berbasis EOR alias memicu produksi lebih banyak bahan bakar fosil yang ujungnya malah melepaskan lebih banyak emisi.
Kebijakan CCS di Indonesia
Dalam praktiknya, ada dua skenario model bisnis CCS. Pertama, CCS dipakai untuk sektor industri yang sulit didekarbonisasi, seperti industri semen dan baja. Skenario ini biasa ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dari proses produksi di dalam negeri, tapi biayanya sangat tinggi — 75-140 persen lebih mahal dibandingkan metode konvensional.
Kedua, CCS digunakan sebagai jasa penyimpanan karbon (carbon storage) bagi negara-negara maju seperti Singapura atau Korea Selatan yang tidak memiliki cukup lahan untuk menyimpan emisi mereka sendiri. Skenario ini bisa menghasilkan ‘cuan’ bagi negara yang punya lahan luas untuk menyimpan karbon seperti Indonesia.
Pemerintah Indonesia jelas lebih condong pada skenario kedua. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2024 secara eksplisit menyebutkan pertimbangan investasi dalam penyusunan regulasi CCS, di samping target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) dalam Perjanjian Paris.
Peraturan warisan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di akhir jabatannya itu mengalokasikan 30% dari kapasitas penyimpanan untuk CO2 impor. Meskipun 70 persen kapasitas sisanya dialokasikan untuk kebutuhan industri dalam negeri, tingginya biaya penerapan CCS sudah hampir pasti tidak terjangkau oleh industri lokal.
Dalam banyak kesempatan, pernyataan pemerintah juga lebih sering menyoroti potensi nilai investasi ketimbang bicara soal urgensi mengurangi emisi domestik.
Hal yang harus diingat: pilihan menjadi ‘tempat sampah’ karbon negara lain ini memiliki risiko besar, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi kedaulatan negara.
Dari sisi lingkungan, ada potensi kebocoran karbon selama transportasi dan penyimpanan yang harus ditimbang serius.
Potensi kebocoran ini bukan sekadar kekhawatiran tak beralasan, tapi sudah terbukti pernah terjadi pada 2024 lalu di sumur injeksi penangkapan karbon pertama di AS. Injeksi CO2 pada sumur-sumur di seluruh AS saat itu akhirnya dihentikan sementara. Kebocoran karbon ini berbahaya karena bisa mencemari air minum atau menyebabkan lepasnya gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer.
Kebijakan ini juga menyangkut aspek kedaulatan negara. Di saat negara maju bisa menikmati udara bersih dengan menyingkirkan emisinya ke Indonesia, masyarakat lokal harus menanggung potensi dampak jangka panjang seperti degradasi lingkungan, kerusakan ekosistem, dan risiko kesehatan.
Melihat semua risiko ini, pertanyaan besarnya adalah: apakah rakyat Indonesia bersedia negara menjadi “tempat sampah karbon” dunia?
Kita memiliki hak untuk menolak ini. Alih-alih memilih CCS yang kontroversial, solusi yang lebih berkelanjutan harus fokus pada pengembangan energi terbarukan dan reduksi emisi langsung di dalam negeri.
*Professor di Norwegian University of Science and Technology
Baca juga: Pengetahuan Publik Tentukan Keberhasilan Carbon, Capture, and Storage
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya