Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Carbon, Capture and Storage: Solusi Hijau Betulan atau Palsu?

Kompas.com, 21 Februari 2025, 10:14 WIB

Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kegagalan proyek tersebut umumnya disebabkan oleh kendala teknis, seperti tekanan di tempat penyimpanan karbon yang terlalu rendah dan kebutuhan energi yang sangat besar.

Sebagai gambaran, menurut International Energy Agency (IEA), jika dunia mengandalkan CCS untuk membatasi pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, maka pada tahun 2050, teknologi ini akan membutuhkan energi sebesar 26 peta - jam. Jumlah ini bahkan lebih besar dari seluruh kebutuhan energi dunia pada tahun 2022. Ini menunjukkan bahwa CCS sangat boros energi dan sulit diterapkan secara luas.

Dari segi biaya, penerapan CCS membutuhkan investasi yang sangat besar, yakni sekitar 3,5 triliun dollar AS (Rp56,7 ribu triliun) per tahun. Jumlah itu kira-kira setara dengan 2,5 kali lipat Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia dari sekarang hingga 2025.

Dana sebesar itu sebanding dengan biaya membangun 407 pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas 1 gigawatt (GW), atau deretan kincir angin berkapasitas 2.692 GW.

Adapun tiga proyek penangkapan karbon yang diklaim sukses, semuanya berbasis EOR alias memicu produksi lebih banyak bahan bakar fosil yang ujungnya malah melepaskan lebih banyak emisi.

Kebijakan CCS di Indonesia

Dalam praktiknya, ada dua skenario model bisnis CCS. Pertama, CCS dipakai untuk sektor industri yang sulit didekarbonisasi, seperti industri semen dan baja. Skenario ini biasa ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dari proses produksi di dalam negeri, tapi biayanya sangat tinggi — 75-140 persen lebih mahal dibandingkan metode konvensional.

Kedua, CCS digunakan sebagai jasa penyimpanan karbon (carbon storage) bagi negara-negara maju seperti Singapura atau Korea Selatan yang tidak memiliki cukup lahan untuk menyimpan emisi mereka sendiri. Skenario ini bisa menghasilkan ‘cuan’ bagi negara yang punya lahan luas untuk menyimpan karbon seperti Indonesia.

Pemerintah Indonesia jelas lebih condong pada skenario kedua. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2024 secara eksplisit menyebutkan pertimbangan investasi dalam penyusunan regulasi CCS, di samping target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) dalam Perjanjian Paris.

Peraturan warisan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di akhir jabatannya itu mengalokasikan 30% dari kapasitas penyimpanan untuk CO2 impor. Meskipun 70 persen kapasitas sisanya dialokasikan untuk kebutuhan industri dalam negeri, tingginya biaya penerapan CCS sudah hampir pasti tidak terjangkau oleh industri lokal.

Dalam banyak kesempatan, pernyataan pemerintah juga lebih sering menyoroti potensi nilai investasi ketimbang bicara soal urgensi mengurangi emisi domestik.

Hal yang harus diingat: pilihan menjadi ‘tempat sampah’ karbon negara lain ini memiliki risiko besar, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi kedaulatan negara.

Dari sisi lingkungan, ada potensi kebocoran karbon selama transportasi dan penyimpanan yang harus ditimbang serius.

Potensi kebocoran ini bukan sekadar kekhawatiran tak beralasan, tapi sudah terbukti pernah terjadi pada 2024 lalu di sumur injeksi penangkapan karbon pertama di AS. Injeksi CO2 pada sumur-sumur di seluruh AS saat itu akhirnya dihentikan sementara. Kebocoran karbon ini berbahaya karena bisa mencemari air minum atau menyebabkan lepasnya gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer.

Kebijakan ini juga menyangkut aspek kedaulatan negara. Di saat negara maju bisa menikmati udara bersih dengan menyingkirkan emisinya ke Indonesia, masyarakat lokal harus menanggung potensi dampak jangka panjang seperti degradasi lingkungan, kerusakan ekosistem, dan risiko kesehatan.

Melihat semua risiko ini, pertanyaan besarnya adalah: apakah rakyat Indonesia bersedia negara menjadi “tempat sampah karbon” dunia?

Kita memiliki hak untuk menolak ini. Alih-alih memilih CCS yang kontroversial, solusi yang lebih berkelanjutan harus fokus pada pengembangan energi terbarukan dan reduksi emisi langsung di dalam negeri.

*Professor di Norwegian University of Science and Technology

Baca juga: Pengetahuan Publik Tentukan Keberhasilan Carbon, Capture, and Storage

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Riset CELIOS: Lapangan Kerja dari Program MBG Terbatas dan Tak Merata
Riset CELIOS: Lapangan Kerja dari Program MBG Terbatas dan Tak Merata
LSM/Figur
Presiden Prabowo Beri 20.000 Hektar Lahan di Aceh untuk Gajah
Presiden Prabowo Beri 20.000 Hektar Lahan di Aceh untuk Gajah
Pemerintah
IWGFF: Bank Tak Ikut Tren Investasi Hijau, Risiko Reputasi akan Tinggi
IWGFF: Bank Tak Ikut Tren Investasi Hijau, Risiko Reputasi akan Tinggi
LSM/Figur
MBG Bikin Anak Lebih Aktif, Fokus, dan Rajin Belajar di Sekolah?, Riset Ini Ungkap Persepsi Orang Tua
MBG Bikin Anak Lebih Aktif, Fokus, dan Rajin Belajar di Sekolah?, Riset Ini Ungkap Persepsi Orang Tua
LSM/Figur
Mikroplastik Bisa Sebarkan Patogen Berbahaya, Ini Dampaknya untuk Kesehatan
Mikroplastik Bisa Sebarkan Patogen Berbahaya, Ini Dampaknya untuk Kesehatan
LSM/Figur
Greenpeace Soroti Krisis Iklim di Tengah Minimnya Ruang Aman Warga Jakarta
Greenpeace Soroti Krisis Iklim di Tengah Minimnya Ruang Aman Warga Jakarta
LSM/Figur
Interpol Sita 30.000 Satwa dan Tanaman Ilegal di 134 Negara, Perdagangan Daging Meningkat
Interpol Sita 30.000 Satwa dan Tanaman Ilegal di 134 Negara, Perdagangan Daging Meningkat
Pemerintah
PHE Konsisten Lestarikan Elang Jawa di Kamojang Jawa Barat
PHE Konsisten Lestarikan Elang Jawa di Kamojang Jawa Barat
Pemerintah
Indeks Investasi Hijau Ungkap Bank Nasional di Posisi Teratas Jalankan ESG
Indeks Investasi Hijau Ungkap Bank Nasional di Posisi Teratas Jalankan ESG
LSM/Figur
Korea Selatan Larang Label Plastik di Botol Air Minum per Januari 2026
Korea Selatan Larang Label Plastik di Botol Air Minum per Januari 2026
Pemerintah
Aturan Baru Uni Eropa, Wajibkan 25 Persen Plastik Daur Ulang di Mobil Baru
Aturan Baru Uni Eropa, Wajibkan 25 Persen Plastik Daur Ulang di Mobil Baru
Pemerintah
BRIN Soroti Banjir Sumatera, Indonesia Dinilai Tak Belajar dari Sejarah
BRIN Soroti Banjir Sumatera, Indonesia Dinilai Tak Belajar dari Sejarah
Pemerintah
KLH Periksa 8 Perusahaan Diduga Picu Banjir di Sumatera Utara
KLH Periksa 8 Perusahaan Diduga Picu Banjir di Sumatera Utara
Pemerintah
Banjir Sumatera, BMKG Dinilai Belum Serius Beri Peringatan Dini dan Dampaknya
Banjir Sumatera, BMKG Dinilai Belum Serius Beri Peringatan Dini dan Dampaknya
LSM/Figur
Mengenal Kemitraan Satu Atap Anak Usaha TAPG di Kalimantan Tengah, Apa Itu?
Mengenal Kemitraan Satu Atap Anak Usaha TAPG di Kalimantan Tengah, Apa Itu?
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau