Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Bekasi, Greenpeace Nyatakan Sebabnya adalah Alih Fungsi DAS

Kompas.com - 06/03/2025, 18:05 WIB
Zintan Prihatini,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Greenpeace Indonesia menyebut, alih fungsi lahan di aliran sungai (DAS) Kali Bekasi menjadi salah satu penyebab parahnya banjir di Bekasi baru-baru ini.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, area terbangun mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi pada 2022. DAS ini melalui daerah Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, Sentul, dan Hambalang, Kabupaten Bogor.

“Perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya," ujar Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, dalam keterangannya, Kamis (6/3/2025).

"Dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah," imbuh dia.

Sapta mengatakan, jumlah area terbangun di DAS Kali Bekasi melonjak sekitar 36 persen dari yang sebelumnya 5,1 persen di 1990. 

"Kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektare atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS,” papar Sapta.

Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, berpandangan, pemerintah seharusnya melakukan pembatasan izin pembangunan yang tak sesuai aturan.

Pemerintah daerah pun perlu lebih sigap merespons peringatan cuaca dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai upaya mitigasi bencana. 

Baca juga: Banjir Parah, Apa Sebenarnya Hubungannya dengan Perubahan Iklim?

“Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respon cepat mitigasi bencana, terutama di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem akibat krisis iklim seperti saat ini," jelas Jeanny.

Mitigasi Banjir

Greenpeace mencatat, banjir kali ini merendam 20 titik di tujuh kecamatan di Kota Bekasi. Selain itu, banjir juga melanda Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang.

Karenanya, pemerintah daerah di kawasan Jabodetabek dan pemerintah pusat didesak fokus pada upaya mitigasi serta adaptasi iklim di tengah tingginya frekuensi cuaca ekstrem akibat dampak krisis iklim.

Menurut Jeanny, pemerintah daerah harus fokus merancang kota yang tahan iklim, serta mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim. 

"Pemerintah daerah harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara," kata Jeanny.

"Hal ini bukan hanya akan meningkatkan ketahanan daerah dalam menghadapi krisis iklim, namun juga mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat” tambah dia.

Greenpeace lalu merekomendasikan agar pemerintah melakukan mitigasi banjir dengan pengelolaan DAS terpadu, restorasi kawasan hutan di hulu, dan memperbanyak sumur resapan serta biopori.

Lainnya, memperluas ruang terbuka hijau sebagai resapan air hujan sekaligus mengurangi polusi udara, membatasi izin usaha yang mengeksploitasi lingkungan, hingga memastikan pengendalian alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung serta daya tampung lingkungan.   

Baca juga: Menakar Potensi Bangunan Ramah Lingkungan untuk Cegah Banjir di Jakarta

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau