JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan perovskite anorganik bebas timbal untuk memproduksi sel surya ramah lingkungan.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Elektronika BRIN, Wilman Septina, mengungkapkan perovskite umumnya digunakan sebagai lapisan penyerap cahaya.
Kendati efektivitasnya tinggi, stabilitas material ini dinilai rendah dan mengandung timbal di dalamnya.
“Oleh karena itu, kami berupaya menggantikan timbal dengan unsur lain, seperti timah, antimoni, atau bismuth yang lebih ramah lingkungan,” ujar Wilman dalam keterangan tertulis, Kamis (6/3/2025).
Para peneliti, lanjut dia, mengembangkan perangkat hybrid fotovoltaik fotoelektrokimia guna meningkatkan efisiensi konversi energi surya menjadi hidrogen.
Mereka juga tengah membuat material sel surya mini transparan yang bisa digunakan dalam aplikasi perangkat hybrid tersebut.
Wilman menjelaskan, material semi transparan memungkinkan penetrasi cahaya ke lapisan foto elektroda di bawahnya.
"Sehingga perangkat dapat secara simultan mengonversi energi matahari menjadi listrik melalui lapisan fotovoltaik dan memanfaatkannya untuk reaksi fotoelektrokimia untuk produksi hidrogen,” tutur dia.
Dalam dua tahun terakhir, peneliti telah memublikasikan risetnya di jurnal internasional serta pengujian berbagai kombinasi material dalam perangkat energi surya.
Baca juga: Tingkatkan Produktivitas, Ini Inovasi APRIL Group dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
“Kami telah berhasil memfabrikasi perovskite anorganik dengan metode berbasis larutan dan juga evaporasi termal, yang memungkinkan produksi material secara lebih efisien dan scalable,” papar Wilman.
Salah satu terobosan utama dari riset itu ialah penggunaan perangkat tandem antara perovskite anorganik semi transparan, dengan sel surya berbasis silikon atau Copper Indium Gallium Selenide (CIGS) untuk mengefisiensikan produksi hidrogen.
Selain itu, kata Wilman, metode produksi yang dikembangkan telah dioptimalkan agar sesuai dengan kondisi iklim tropis Indonesia dengan tingkat kelembaban tinggi.
Material Mudah Terdegradasi
Di sisi lain, Wilman menyoroti bahwa material perovskite sangat mudah terdegradasi dengan air sehingga memerlukan pelapisan yang optimal. Penelitian serupa pun masih belum banyak dilakukan di Indonesia.
“Kami berupaya mengatasi kendala ini dengan berkolaborasi bersama mitra riset internasional, seperti Nanyang Technological University (NTU) di Singapura dan Hawaii Natural Energy Institute di Amerika Serikat,” ucap Wilman.
Tim peneliti menargetkan penyelesaian prototipe perangkat hybrid fotovoltaik fotoelektrokimia yang efisien dalam menghasilkan hidrogen. Kemudian, mengembangkan integrasi sistem yang lebih luas untuk aplikasi energi bersih di Indonesia.
“Kami berharap riset ini dapat menjadi langkah nyata dalam mendukung transisi energi berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil,” tutur Wilman.
Baca juga: BRIN Bikin Inovasi Baru, Kemasan Saset yang Bisa Didaur Ulang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya