Oleh Dr. Eng. Ir. Amaliyah Rohsari Indah Utami, IPM*
KOMPAS.com - Pengembangan bioetanol di Tanah Air saat ini masih berfokus pada tanaman pangan seperti sawit dan tebu. Singkong dan jagung juga mulai dibidik sebagai bahan baku. Padahal, ada banyak sekali potensi limbah yang bisa dimanfaatkan, termasuk limbah sawit, jagung, dan tebu.
Melansir studi International Council on Clean Transportation (ICCT), potensi produksi etanol dari bahan baku residu sawit mencapai 2 juta kiloliter/tahun. Jika ditambah dengan pengolahan jerami, batang jagung, dan ampas tebu, potensi produksinya bisa mencapai 50 juta kiloliter/tahun.
Pamanfaatan limbah atau bioetanol generasi kedua ini memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, bioetanol yang dihasilkan lebih ramah lingkungan karena tidak perlu membuka lahan baru. Kedua, bahan baku utama tidak bersinggungan dengan pangan, sehingga tidak akan memunculkan konflik baru seperti kasus minyak goreng.
Tapi sayangnya, sampai saat ini upaya pengembangan bioetanol dari limbah belum bisa menarik minat industri. Salah satu penyebab utamanya adalah ongkos produksi yang mahal. Namun, penelitian yang saya lakukan membuktikan bahwa biaya produksi sebenarnya bisa ditekan dengan adopsi teknologi yang tepat.
Mengapa produksi bioetanol dari limbah perlu ongkos besar?
Bioetanol generasi kedua (G2) adalah pengembangan dari bioetanol generasi pertama (G1) yang memiliki perbedaan pada bahan baku. Jika bioetanol G1 menggunakan tanaman pangan, bioetanol G2 berbasis selulosa, yang berasal dari limbah tanaman.
Proses pengolahan bioetanol G2 memang lebih kompleks dibandingkan G1. Bioetanol G1 lebih mudah dibuat karena bahan bakunya, seperti tebu atau jagung, sudah mengandung gula yang bisa langsung di fermentasi (diubah menjadi alkohol oleh mikroorganisme).
Sementara bioetanol G2 yang berasal dari limbah lebih sulit diolah, karena bahan bakunya seperti jerami, batang, atau kayu tanaman mengandung lignoselulosa—zat yang membuat tanaman kuat dan keras.
Oleh karena itu, sebelum di fermentasi, pengolahan bioetanol dari limbah harus melalui dua langkah tambahan, yakni proses pra-perlakuan (pretreatment) untuk melemahkan struktur lignoselulosa agar lebih mudah dipecah.
Setelah itu, akan dilanjutkan ke tahap hidrolisis untuk mengubah selulosa (salah satu komponen lignoselulosa) menjadi gula sederhana (glukosa) dengan bantuan enzim selulase.
Dalam proses hidrolisis inilah beberapa potensi kendala teknis kerap terjadi, misalnya konsentrasi lignin yang tinggi bisa menghambat kerja enzim yang membantu mengubah selulosa menjadi gula. Selain itu, durasi proses hidrolisis juga cukup lama. Prosesnya bisa memakan waktu hingga 48 jam, sehingga bisa memperlambat proses produksi.
Baca juga: Pemerintah Diminta Serius Kembangkan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati
Setelah proses hidrolisis selesai, barulah glukosa bisa di fermentasi untuk menghasilkan etanol. Dilanjutkan dengan proses distilasi (memisahkan etanol dari campuran fermentasi), pemurnian etanol, hingga pencampuran dengan bensin atau penggunaan langsung.
Setiap proses pembuatan bioetanol tentunya membutuhkan teknologi khusus dan tenaga kerja, yang membutuhkan biaya. Karena proses yang kompleks, teknologi pengolahan bioetanol berbasis lignoselulosa juga lebih canggih atau satu tahap di atas teknologi generasi pertama dan harganya pasti sedikit lebih mahal. Dan saat ini, teknologi maupun enzim yang digunakan untuk pengolahan bioetanol G2 juga masih bergantung pada impor, yang mengakibatkan biaya produksinya tinggi.
Solusi: Menekan biaya produksi dengan teknologi
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya