Saya bersama sejumlah rekan peneliti mengkaji penghematan ongkos produksi bioetanol berbasis limbah. Sejumlah studi yang kami lakukan menunjukkan efisiensi pengembangan bioetanol dari limbah bisa dilakukan dengan beberapa inovasi teknologi dalam negeri.
Mula-mula, kami meneliti cara mengolah limbah aren menjadi bioetanol dengan teknologi biorefinery menggunakan cairan ionik.
Teknologi ini terbukti sangat efisien dan dilakukan dalam tiga tahap utama:
Hasil uji coba yang kami temukan dalam riset ini cukup tinggi, dengan konsentrasi etanol mencapai 90,6 g/L dan efisiensi konversi 96 persen. Artinya, hampir semua gula berhasil diubah menjadi bioetanol.
Simulasi yang saya lakukan bersama sejumlah tim peneliti menggunakan perangkat lunak SuperPro Designer menunjukkan bahwa proses ini dapat menurunkan biaya produksi hingga 30 persen, menjadikannya lebih kompetitif dibandingkan bahan bakar fosil.
Untuk mempermudah proses pengolahan, kami juga telah merancang sistem hidrolisis terintegrasi dengan membuat tangki dengan sekat bergerak, sehingga pencampuran biomassa lebih efektif.
Kami juga membuat pengaduk khusus yang bisa menangani limbah yang kental supaya enzim bekerja lebih efektif. Selain itu, kami pun merancang sistem kendali pintar yang bisa mengatur kekentalan limbah secara otomatis agar produksi lebih cepat dan efisien.
Teknologi ini menawarkan fleksibilitas bagi pabrik baru maupun lama. Pabrik lama bisa mengadopsi teknik sakarifikasi Very High Gravity (VHG) tanpa perubahan besar pada infrastruktur, sementara pabrik baru dapat langsung mengintegrasikan desain tangki modern dan sistem kendali pintar sejak awal pembangunan.
Kesimpulannya, dengan adopsi teknologi inovatif ini, tantangan teknis dalam produksi bioetanol G2 dapat diatasi sehingga menjadi lebih ekonomis dan efisien. Biaya produksi juga sebenarnya sudah ditekan dengan sendirinya karena bahan baku yang jauh lebih murah dan tersedia melimpah. Jadi, tidak ada alasan untuk sulit mengembangkan bioetanol G2.
Bioetanol generasi kedua berbasis limbah terbukti lebih menjamin keberlanjutan energi di masa depan. Banyak negara di dunia kini berlomba-lomba mengembangkan bioetanol generasi kedua, bahkan generasi ketiga dari alga. Saatnya Indonesia mengambil langkah serupa.
Investasi dalam pengembangan bioetanol G2 adalah kunci menuju energi yang lebih hijau dan mandiri. Dukungan kebijakan seperti insentif pajak atau subsidi penelitian bakal mempercepat adopsi teknologi ini.
Baca juga: Selain Biodiesel, Pertamina NRE Dorong Bioetanol Jadi BBM
*Dosen Telkom University
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya