MEREKA yang tinggal di rumah-rumah kayu dengan atap ijuk, yang berjalan di pematang sawah tanpa alas kaki, yang berbisik kepada leluhur dalam bahasa yang tak tercatat di buku hukum—mereka yang disebut “Masyarakat Adat”—masih menunggu.
Di tepian republik yang menjanjikan demokrasi, mereka tetap termangu.
Di Senayan, Jakarta, janji-janji mengental dalam udara yang dipenuhi angka-angka anggaran dan kesepakatan politik.
RUU Masyarakat Adat, naskah hukum yang mestinya menjadi nyawa bagi pengakuan mereka, terus bergulir dalam lintasan politik yang lamban, nyaris beku.
Tahun demi tahun, rancangan undang-undang itu masuk dan keluar daftar prioritas legislasi, seakan hanya menjadi deretan kata di lembar kerja negara, bukan ikhtiar serius untuk menuntaskan ketidakadilan yang telah berlangsung berabad-abad.
Baca juga: Menyoal “Kejahatan Sejarah” kepada Masyarakat Adat
Sejarahnya panjang. Sejak awal Reformasi, perdebatan tentang pengakuan masyarakat adat telah menjadi bagian dari diskursus kebangsaan.
Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Frasa ini, dengan segala kelenturannya, menjadi alasan untuk mengakui sekaligus menolak.
RUU Masyarakat Adat pertama kali masuk Prolegnas pada 2013. Sejak saat itu, ia menjadi bola liar di antara berbagai kepentingan.
Dari kursi eksekutif hingga legislatif, rancangan ini ditarik ke berbagai arah: ada yang menginginkannya menjadi instrumen perlindungan, ada yang memandangnya sebagai ancaman terhadap investasi.
Kepentingan ekonomi besar, dari pertambangan hingga perkebunan, diam-diam menyusun argumen mereka—sering kali dengan bahasa legal yang manis, tetapi menusuk: “kepastian hukum bagi investasi.”
Baca juga: Ekspansi Sawit: Ancaman Petani Swadaya, Masyarakat Adat, dan Lingkungan
Maka, setiap tahun, RUU ini dikembalikan ke meja perundingan, direvisi, dikaji ulang, diperdebatkan.
Namun, substansi besarnya tetap: bagaimana negara menempatkan masyarakat adat dalam arsitektur hukum yang lebih adil?
Apakah mereka akan tetap menjadi subjek tanpa perlindungan hukum yang konkret, atau akhirnya memperoleh pengakuan yang bukan sekadar seremonial?
Di tengah perdebatan ini, ada ilusi yang terus diciptakan. Pemerintah dan DPR mengklaim telah banyak melakukan upaya untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya