Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hidayatullah Rabbani
Peneliti BRIN

Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Ekspansi Sawit: Ancaman Petani Swadaya, Masyarakat Adat, dan Lingkungan

Kompas.com - 03/01/2025, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pembukaan Musrenbangnas pada 30 Desember 2024 lalu, yang menyebut kelapa sawit sebagai "aset strategis" yang perlu diperluas, tanpa memedulikan risiko deforestasi, telah memicu perdebatan publik.

Meskipun kebijakan ini tampak ambisius untuk memperkuat perekonomian Indonesia, ada sejumlah dimensi yang sering terabaikan dalam diskusi ini: kerusakan ekologi, ketimpangan sosial yang semakin dalam, serta ancaman nyata terhadap kesejahteraan petani swadaya, masyarakat adat, dan hak-hak mereka atas tanah.

Baca juga: Prabowo Ingin Indonesia Tambah Lahan Sawit: Enggak Usah Takut Deforestasi

Sektor kelapa sawit memang menyumbang hampir 4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dan penghasilannya dari ekspor juga sangat signifikan.

Namun, jika kebijakan ini hanya fokus pada ekspansi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap petani swadaya, masyarakat adat, dan lingkungan, maka Indonesia berisiko menghadapi masalah lebih besar, termasuk krisis sosial dan lingkungan yang lebih dalam.

Keuntungan ekonomi yang besar dari ekspansi sawit perlu diimbangi dengan upaya menjaga keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial.

Ancaman lingkungan dan kehidupan

Kebijakan ekspansi lahan sawit yang tidak mengindahkan dampak ekologis berisiko memperburuk deforestasi yang sudah berlangsung pesat di Indonesia.

Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa sekitar 2 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya, dengan sebagian besar konversinya untuk perkebunan kelapa sawit.

Kehilangan ini semakin memperburuk krisis iklim global, mengingat hutan tropis Indonesia merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia.

Kerusakan ekosistem ini juga memengaruhi ketersediaan air, ketahanan pangan, dan keanekaragaman hayati.

Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit turut mengancam habitat bagi banyak spesies, yang sebagian di antaranya terancam punah.

Pembakaran hutan untuk membuka lahan menyebabkan kabut asap, yang tidak hanya merugikan kesehatan masyarakat, tetapi juga memperburuk kerusakan lingkungan secara keseluruhan.

Sistem monokultur dalam sektor sawit menimbulkan tantangan besar bagi petani swadaya. Dengan fluktuasi harga minyak sawit global yang kerap tidak menentu, petani swadaya menjadi pihak paling rentan.

Ketika harga sawit turun, pendapatan petani kecil ikut tertekan, memengaruhi kesejahteraan mereka.

Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), sekitar 40 persen total luas perkebunan sawit di Indonesia dikelola oleh petani swadaya.

Namun, meski mereka mengelola hampir setengah dari total luas lahan, posisi tawar mereka sering kali lemah karena dominasi perusahaan besar dalam rantai pasok.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau