Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

RUU Masyarakat Adat: Janji Politik atau Ilusi Hukum?

Kompas.com, 13 Maret 2025, 17:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEREKA yang tinggal di rumah-rumah kayu dengan atap ijuk, yang berjalan di pematang sawah tanpa alas kaki, yang berbisik kepada leluhur dalam bahasa yang tak tercatat di buku hukum—mereka yang disebut “Masyarakat Adat”—masih menunggu.

Di tepian republik yang menjanjikan demokrasi, mereka tetap termangu.

Di Senayan, Jakarta, janji-janji mengental dalam udara yang dipenuhi angka-angka anggaran dan kesepakatan politik.

RUU Masyarakat Adat, naskah hukum yang mestinya menjadi nyawa bagi pengakuan mereka, terus bergulir dalam lintasan politik yang lamban, nyaris beku.

Tahun demi tahun, rancangan undang-undang itu masuk dan keluar daftar prioritas legislasi, seakan hanya menjadi deretan kata di lembar kerja negara, bukan ikhtiar serius untuk menuntaskan ketidakadilan yang telah berlangsung berabad-abad.

Baca juga: Menyoal “Kejahatan Sejarah” kepada Masyarakat Adat

Janji yang terus diulang

Sejarahnya panjang. Sejak awal Reformasi, perdebatan tentang pengakuan masyarakat adat telah menjadi bagian dari diskursus kebangsaan.

Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Frasa ini, dengan segala kelenturannya, menjadi alasan untuk mengakui sekaligus menolak.

RUU Masyarakat Adat pertama kali masuk Prolegnas pada 2013. Sejak saat itu, ia menjadi bola liar di antara berbagai kepentingan.

Dari kursi eksekutif hingga legislatif, rancangan ini ditarik ke berbagai arah: ada yang menginginkannya menjadi instrumen perlindungan, ada yang memandangnya sebagai ancaman terhadap investasi.

Kepentingan ekonomi besar, dari pertambangan hingga perkebunan, diam-diam menyusun argumen mereka—sering kali dengan bahasa legal yang manis, tetapi menusuk: “kepastian hukum bagi investasi.”

Baca juga: Ekspansi Sawit: Ancaman Petani Swadaya, Masyarakat Adat, dan Lingkungan

Maka, setiap tahun, RUU ini dikembalikan ke meja perundingan, direvisi, dikaji ulang, diperdebatkan.

Namun, substansi besarnya tetap: bagaimana negara menempatkan masyarakat adat dalam arsitektur hukum yang lebih adil?

Apakah mereka akan tetap menjadi subjek tanpa perlindungan hukum yang konkret, atau akhirnya memperoleh pengakuan yang bukan sekadar seremonial?

Ilusi hukum dan kuasa politik

Di tengah perdebatan ini, ada ilusi yang terus diciptakan. Pemerintah dan DPR mengklaim telah banyak melakukan upaya untuk mengakui hak-hak masyarakat adat.

Beberapa regulasi sektoral memang menyebut keberadaan mereka—UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

Namun, pengakuan dalam dokumen hukum itu nyatanya belum menjadi perlindungan nyata.

Di berbagai wilayah, masyarakat adat tetap mengalami perampasan tanah. Mereka yang menggarap lahan warisan leluhur dianggap “menguasai lahan negara secara ilegal”.

Hukum negara, yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, justru lebih sering menjadi alat legitimasi bagi pencabutan hak.

RUU Masyarakat Adat, dalam versi yang terakhir dibahas, seharusnya bisa mengatasi kebuntuan ini. Ia mengatur mekanisme pengakuan, perlindungan, serta hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka.

Di sinilah letak tarik-menariknya: seberapa jauh negara bersedia melepaskan kontrolnya atas tanah adat?

Baca juga: Kriminalisasi Masyarakat Adat Meningkat, 121 Kasus pada 2024

Pemerintah dan DPR tampaknya ingin menghindari kewajiban konstitusional yang sebenarnya jelas: mengakui dan melindungi.

Alih-alih, mereka bermain di wilayah abu-abu, menggunakan bahasa hukum yang samar, yang membuka celah bagi tafsir berbeda di tingkat implementasi.

Kita tahu, ada satu hal yang membuat pengesahan RUU ini begitu sulit: ekonomi politik sumber daya alam. Wilayah adat sering kali berada di area yang kaya akan potensi ekonomi—minyak, batu bara, emas, sawit.

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat berarti membuka negosiasi ulang atas kepemilikan dan pengelolaan sumber daya.

Di sinilah pemerintah kerap dihadapkan pada dilema, yang sejatinya bukan dilema: memilih antara kepentingan rakyat atau modal. Hingga kini, negara lebih sering condong pada yang kedua.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sepanjang satu dekade terakhir, ada 687 konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, mencakup lahan lebih dari 11 juta hektare.

Dalam konflik-konflik ini, negara justru lebih sering berpihak kepada korporasi. Peran aparat, dalam banyak kasus, bukan sebagai pelindung hak konstitusional warga, melainkan sebagai eksekutor kepentingan investasi.

Ketika masyarakat adat menuntut hak mereka atas tanah, mereka dianggap penghambat pembangunan.

Tetapi ketika korporasi menebangi hutan adat, menggusur kampung, merusak sumber air, mereka diberikan perizinan. Hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan sarana dominasi.

RUU Masyarakat Adat seharusnya sudah disahkan sejak lama. Namun setiap tahun, kita mendengar alasan baru: perlu harmonisasi regulasi, perlu pembahasan lebih lanjut, perlu kajian lebih dalam.

Tahun 2025, RUU ini kembali masuk dalam daftar prioritas legislasi. Akankah ini menjadi tahun di mana negara akhirnya bersikap tegas? Atau hanya pengulangan dari drama politik yang sama—di mana masyarakat adat terus menjadi objek perdebatan tanpa kesimpulan?

Ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh para legislator kita: apakah pengesahan RUU ini benar-benar tentang perlindungan hak, atau hanya upaya meredam tekanan politik dari kelompok masyarakat sipil?

Baca juga: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Sebab jika yang terjadi adalah yang kedua, maka RUU ini mungkin akan lahir dalam versi yang sudah dikompromikan, dengan pasal-pasal yang kehilangan daya proteksinya.

Dalam diskusi-diskusi resmi, kita mendengar jargon: “komitmen negara untuk melindungi masyarakat adat”. Komitmen bukan hanya kata-kata. Komitmen adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada mereka yang selama ini terpinggirkan.

RUU Masyarakat Adat bukan sekadar soal hukum; ia adalah cermin dari bagaimana negara memandang identitas, sejarah, dan keadilan.

Pengesahan RUU ini akan menjadi ujian sejauh mana republik ini benar-benar menjunjung prinsip keadilan sosial.

Di tengah suara-suara yang mendesak pengesahan, kita bisa melihat jelas: ini bukan sekadar soal teknis legislasi, tetapi soal keberpihakan politik.

Negara seakan masih ragu untuk mengakui bahwa tanah ini bukan hanya milik mereka yang memiliki sertifikat, tetapi juga milik mereka yang telah hidup dan merawatnya jauh sebelum republik ini berdiri.

Jika RUU ini kembali gagal disahkan, maka pesan yang dikirimkan jelas: negara lebih nyaman hidup dalam ilusi hukum daripada menghadapi kenyataan bahwa ada hak-hak yang harus dikembalikan.

Maka pertanyaannya tetap menggantung: apakah RUU Masyarakat Adat akan menjadi kenyataan hukum, atau sekadar janji politik yang dibiarkan membusuk di tumpukan naskah legislasi yang tak tersentuh?

Masyarakat adat menunggu. Seperti yang selalu mereka lakukan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau