Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

RUU Masyarakat Adat: Janji Politik atau Ilusi Hukum?

Kompas.com - 13/03/2025, 17:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RUU Masyarakat Adat seharusnya sudah disahkan sejak lama. Namun setiap tahun, kita mendengar alasan baru: perlu harmonisasi regulasi, perlu pembahasan lebih lanjut, perlu kajian lebih dalam.

Tahun 2025, RUU ini kembali masuk dalam daftar prioritas legislasi. Akankah ini menjadi tahun di mana negara akhirnya bersikap tegas? Atau hanya pengulangan dari drama politik yang sama—di mana masyarakat adat terus menjadi objek perdebatan tanpa kesimpulan?

Ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh para legislator kita: apakah pengesahan RUU ini benar-benar tentang perlindungan hak, atau hanya upaya meredam tekanan politik dari kelompok masyarakat sipil?

Baca juga: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Sebab jika yang terjadi adalah yang kedua, maka RUU ini mungkin akan lahir dalam versi yang sudah dikompromikan, dengan pasal-pasal yang kehilangan daya proteksinya.

Dalam diskusi-diskusi resmi, kita mendengar jargon: “komitmen negara untuk melindungi masyarakat adat”. Komitmen bukan hanya kata-kata. Komitmen adalah keberanian untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada mereka yang selama ini terpinggirkan.

RUU Masyarakat Adat bukan sekadar soal hukum; ia adalah cermin dari bagaimana negara memandang identitas, sejarah, dan keadilan.

Pengesahan RUU ini akan menjadi ujian sejauh mana republik ini benar-benar menjunjung prinsip keadilan sosial.

Di tengah suara-suara yang mendesak pengesahan, kita bisa melihat jelas: ini bukan sekadar soal teknis legislasi, tetapi soal keberpihakan politik.

Negara seakan masih ragu untuk mengakui bahwa tanah ini bukan hanya milik mereka yang memiliki sertifikat, tetapi juga milik mereka yang telah hidup dan merawatnya jauh sebelum republik ini berdiri.

Jika RUU ini kembali gagal disahkan, maka pesan yang dikirimkan jelas: negara lebih nyaman hidup dalam ilusi hukum daripada menghadapi kenyataan bahwa ada hak-hak yang harus dikembalikan.

Maka pertanyaannya tetap menggantung: apakah RUU Masyarakat Adat akan menjadi kenyataan hukum, atau sekadar janji politik yang dibiarkan membusuk di tumpukan naskah legislasi yang tak tersentuh?

Masyarakat adat menunggu. Seperti yang selalu mereka lakukan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau