Beberapa regulasi sektoral memang menyebut keberadaan mereka—UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Namun, pengakuan dalam dokumen hukum itu nyatanya belum menjadi perlindungan nyata.
Di berbagai wilayah, masyarakat adat tetap mengalami perampasan tanah. Mereka yang menggarap lahan warisan leluhur dianggap “menguasai lahan negara secara ilegal”.
Hukum negara, yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, justru lebih sering menjadi alat legitimasi bagi pencabutan hak.
RUU Masyarakat Adat, dalam versi yang terakhir dibahas, seharusnya bisa mengatasi kebuntuan ini. Ia mengatur mekanisme pengakuan, perlindungan, serta hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka.
Di sinilah letak tarik-menariknya: seberapa jauh negara bersedia melepaskan kontrolnya atas tanah adat?
Baca juga: Kriminalisasi Masyarakat Adat Meningkat, 121 Kasus pada 2024
Pemerintah dan DPR tampaknya ingin menghindari kewajiban konstitusional yang sebenarnya jelas: mengakui dan melindungi.
Alih-alih, mereka bermain di wilayah abu-abu, menggunakan bahasa hukum yang samar, yang membuka celah bagi tafsir berbeda di tingkat implementasi.
Kita tahu, ada satu hal yang membuat pengesahan RUU ini begitu sulit: ekonomi politik sumber daya alam. Wilayah adat sering kali berada di area yang kaya akan potensi ekonomi—minyak, batu bara, emas, sawit.
Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat berarti membuka negosiasi ulang atas kepemilikan dan pengelolaan sumber daya.
Di sinilah pemerintah kerap dihadapkan pada dilema, yang sejatinya bukan dilema: memilih antara kepentingan rakyat atau modal. Hingga kini, negara lebih sering condong pada yang kedua.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sepanjang satu dekade terakhir, ada 687 konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, mencakup lahan lebih dari 11 juta hektare.
Dalam konflik-konflik ini, negara justru lebih sering berpihak kepada korporasi. Peran aparat, dalam banyak kasus, bukan sebagai pelindung hak konstitusional warga, melainkan sebagai eksekutor kepentingan investasi.
Ketika masyarakat adat menuntut hak mereka atas tanah, mereka dianggap penghambat pembangunan.
Tetapi ketika korporasi menebangi hutan adat, menggusur kampung, merusak sumber air, mereka diberikan perizinan. Hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan sarana dominasi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya