Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset: Aksi Lawan Krisis Iklim Tingkatkan PDB, Kurangi Kemiskinan

Kompas.com - 26/03/2025, 20:00 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Aksi nyata menghadapi krisis iklim akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, bukan merusak ekonomi seperti yang diklaim oleh para kritikus kebijakan net zero.

Demikian menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan United Nations Development Program (UNDP).

Menetapkan target ambisius dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan kebijakan yang jelas untuk mencapainya akan memberikan keuntungan bersih bagi PDB global pada akhir dekade berikutnya. 

OECD memperkirakan, ada peningkatan bersih sebesar 0,23 persen pada 2040, dengan manfaat lebih besar pada 2050, jika memperhitungkan dampak ekonomi dari bencana akibat emisi yang tidak dikendalikan.

Pada 2050, negara maju akan mengalami peningkatan 60 persen dalam pertumbuhan PDB per kapita, sedangkan negara berpenghasilan rendah akan mengalami lonjakan sebesar 124 persen dibandingkan tingkat 2025. 

Dalam jangka pendek, negara berkembang juga akan merasakan manfaatnya, dengan 175 juta orang terangkat dari kemiskinan jika pemerintah berinvestasi dalam pengurangan emisi sekarang.

Sebaliknya, jika krisis iklim dibiarkan, sepertiga dari PDB global dapat hilang pada abad ini. 

Achim Steiner, Sekretaris Eksekutif UNDP, menegaskan, "Bukti yang kita miliki menunjukkan bahwa kita tidak mengalami kemunduran jika berinvestasi dalam transisi iklim. Justru ada peningkatan pertumbuhan PDB yang, meskipun tampak kecil pada awalnya, akan tumbuh dengan cepat."

Simon Stiell, Kepala Iklim PBB, memperingatkan bahwa Eropa akan mengalami kehancuran ekonomi jika tidak mengambil tindakan tegas. 

Baca juga: Keberlanjutan Jalan Terus, Sebagian Besar Perusahaan Pertahankan Target Iklim

Cuaca ekstrem dapat mengurangi 1 persen PDB Eropa sebelum pertengahan abad ini dan 2,3 persen per tahun pada 2050.

“[Krisis iklim] adalah resep untuk resesi permanen,” kata Stiell seperti dikutip The Guardian, Rabu (26/3/2025). 

“Saat bencana menjadikan lebih banyak wilayah tak layak huni dan produksi pangan menurun, jutaan orang akan dipaksa untuk bermigrasi,” imbuhnya. 

Para kritikus target net zero 2050 berpendapat bahwa transisi dari bahan bakar fosil ke ekonomi rendah karbon akan menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Namun, biaya investasi dalam energi terbarukan sebenarnya relatif kecil dibandingkan dengan potensi kerusakan. Di Inggris, biayanya diperkirakan hanya 0,2 persen dari PDB per tahun hingga 2050. Pendanaan iklim untuk negara miskin juga akan menguntungkan negara kaya.

Data dari Badan Energi Terbarukan Internasional (Irena) menunjukkan, pertumbuhan kapasitas energi terbarukan mencapai rekor 15 persen pada tahun lalu, dengan hampir dua pertiga pertumbuhan berasal dari China, yang menjadi pusat tenaga hijau global. 

Francesco La Camera, Direktur Jenderal Irena, menegaskan, “Pertumbuhan berkelanjutan energi terbarukan menunjukkan bahwa sumber energi ini secara ekonomi layak dan dapat diterapkan dengan mudah.”

Namun, investasi dalam bahan bakar fosil masih berlanjut. Pada 2023, sektor energi bersih menciptakan sekitar 1,5 juta pekerjaan baru secara global, tetapi hampir 1 juta pekerjaan juga ditambahkan di industri bahan bakar fosil.

Baca juga: Menteri Energi AS Sebut Perubahan Iklim Efek Samping Dunia Modern

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau