KOMPAS.com - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai proyek gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah yang kurang menguntungkan.
Dengan kapasitas produksi 1,4 juta ton, proyek ini menghadapi tantangan besar dalam hal biaya dan profitabilitas.
DME bukanlah investasi yang menjanjikan karena biaya pengembangannya yang mencapai 3,1 miliar dollar AS, keuntungan yang meragukan, serta manfaat yang tidak sebanding dengan beban yang ditanggung masyarakat.
Baca juga: iPhone 16 Dijual 11 April di Indonesia, Telat 7 Bulan dari Negara Lain
“Mempertimbangkan peluang dan biaya, serta harga energi lebih tinggi yang harus ditanggung masyarakat, proyek DME bukan investasi yang layak,” ujar Ghee Peh, Analis Keuangan Energi IEEFA dalam pernyataan yang diterima Kompas.com, Kamis (27/3/2025).
Belajar dari pengalaman di China, proyek serupa yang dijalankan Shanxi Lanhua terpaksa berhenti beroperasi karena biaya produksinya mencapai 533 dollar AS per ton, jauh di atas harga pasar DME di China yang hanya 460 dollar AS per ton pada 2023.
Pada awalnya, PT Bukit Asam (Persero) Tbk memperkirakan investasi DME yang dibutuhkan sebesar 2 miliar dollar AS pada 2020. Namun, dengan kenaikan inflasi 30 persen, Ghee memproyeksikan angka itu membengkak menjadi 2,6 miliar dollar AS pada 2025.
Baca juga: Menteri LH Sidak Stockpile Batubara Marunda, Dua Sumber Pencemaran Ditutup
Di sisi lain, ada potensi keuntungan yang hilang karena batu bara yang seharusnya bisa langsung dijual malah dialihkan untuk produksi DME.
Berdasarkan laporan keuangan PT Bukit Asam per September 2024, setiap ton batu bara yang dijual menghasilkan keuntungan sebesar 8 dollar AS. Jika 6,5 juta ton batu bara digunakan untuk proyek DME dengan harga berdasarkan biaya produksi (cash cost), maka dalam 10 tahun, potensi keuntungan yang hilang bisa mencapai 520 juta dollar AS.
“Sehingga total biaya proyek DME akan menyentuh 3,1 miliar dollar AS dengan—belanja modal 2,6 miliar dollar AS ditambah hilangnya keuntungan 520 juta dollar AS—mencapai 70 persen dari biaya impor LPG Indonesia 4,3 miliar dollar AS per tahun, di mana volume impor LPG 7 juta ton. Namun, proyek ini hanya akan menghasilkan 1 juta ton setara energi LPG,” jelas Ghee.
Baca juga: Pemerintah Minta Apple Investasi Baru Sebesar Rp 15,95 Triliun, Ditunggu dalam Sepekan
Tak hanya itu, biaya produksi DME juga terbilang tinggi, berkisar antara 614 hingga 651 dollar AS per ton setelah memperhitungkan biaya batu bara dan komponen lainnya. Angka ini jauh di atas harga LPG yang sudah disetarakan dengan DME, yakni 431 dollar AS per ton—karena DME memiliki kandungan energi lebih rendah dibanding LPG.
“Jadi meski pada batas bawah biaya produksi non-batu bara, harga DME 183 dollar AS per ton atau 42 persen lebih mahal dari harga LPG, Maret 2025,” ungkap Ghee.
Pada akhirnya, proyek ini berisiko membuat masyarakat harus membayar energi 42 persen lebih mahal dibanding penggunaan LPG.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Proyek DME Batubara Pengganti LPG, Andalkan Pembiayaan Dalam Negeri
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya