KOMPAS.com - Laporan think-tank lingkungan Carbon Tracker menemukan, peristiwa politik tertentu, seperti terpilihnya kembali Donald Trump dan krisis energi akibat perang di Ukraina, telah menyebabkan perusahaan-perusahaan minyak dan gas besar semakin menjauh dari komitmen iklim global.
Hasil tersebut disimpulkan setelah Carbon Tracker menilai 30 perusahaan minyak dan gas hulu terbesar di dunia berdasarkan enam kriteria kunci terkait aksi iklim.
Beberapa metrik yang dipakai termasuk opsi investasi, sanksi atau regulasi yang mungkin memengaruhi rencana perusahaan, rencana produksi, target emisi karbon dan metana, serta sistem kompensasi yang diterima eksekutif perusahaan.
Dalam proses penilaian, setiap perusahaan diberi nilai berdasarkan kinerja mereka, dengan ‘A’ menjadi yang tertinggi dan ‘H’ yang terendah.
Baca juga: Transisi dari Bahan Bakar Fosil Bisa Perkuat Ketahanan Energi Negara
Laporan tersebut menyoroti bahwa meskipun ada upaya global untuk beralih ke energi yang lebih bersih, termasuk janji global untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030, banyak produsen minyak dan gas terbesar justru meningkatkan produksi bahan bakar fosil dan menyetujui proyek-proyek yang tidak sesuai dengan Perjanjian Paris.
Perusahaan-perusahaan minyak dan gas besar tersebut diketahui juga menjadi lebih percaya diri atau agresif dalam mengejar produksi bahan bakar fosil sejak Donald Trump dilantik.
Selain itu tidak satu pun dari perusahaan yang dianalisis mendapat nilai lebih tinggi dari ‘D’, dan tidak ada perusahaan yang unggul di lebih dari satu metrik.
"Sebagian besar perusahaan minyak dan gas besar tidak memperhitungkan penurunan permintaan bahan bakar fosil di masa depan. Tindakan mereka juga masih jauh dari jalur yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan Perjanjian Paris," ungkap Analis Carbon Tracker dan penulis utama laporan Rich Collett-White, dikutip dari Edie, Selasa (22/4/2025).
Temuan-temuan ini menimbulkan kekhawatiran bagi para investor, terutama mereka yang memiliki mandat atau fokus pada isu-isu iklim.
Laporan pun menyarankan untuk melakukan penilaian investasi kembali pada perusahaan-perusahaan yang gagal meningkatkan target iklim mereka atau menyelaraskan strategi mereka dengan tujuan-tujuan Perjanjian Paris.
Baca juga: Emisi Industri Bahan Bakar Fosil Picu Kenaikan Signifikan Permukaan Laut
Laporan juga menyarankan bank dan perusahaan asuransi untuk berhati-hati terhadap risiko finansial jangka panjang yang mungkin timbul dari terus mendukung perusahaan-perusahaan yang strateginya tidak sejalan dengan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dalam jangka panjang.
Lebih lanjut, laporan Carbon Tracker menyoroti pula peningkatan investasi dan pengembangan proyek-proyek LNG.
Banyak perusahaan di sektor energi melihat LNG sebagai bahan bakar yang dapat membantu dalam proses transisi dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih bersih.
Sementara itu, meskipun ada sedikit kemajuan dalam pengurangan emisi metana oleh perusahaan-perusahaan minyak dan gas, banyak di antaranya masih gagal mengatasi sumber-sumber kebocoran metana yang signifikan.
Akibatnya, perusahaan seperti CNOOC dan Coterra mengalami penurunan peringkat dalam laporan Carbon Tracker karena kinerja mereka yang buruk dalam hal emisi metana.
Baca juga: Perubahan Iklim Dapat Tingkatkan Kadar Arsenik dalam Beras, Apa Bahayanya?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya