KOMPAS.com - Bertransisi dari energi fosil dan beralih ke sumber terbarukan dapat meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi risiko perdagangan bagi negara-negara di seluruh dunia.
Temuan tersebut mengemuka dalam studi yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change baru-baru ini.
Saat ini, dunia membutuhkan sumber daya penting untuk mendukung pengembangan energi terbarukan seperti litium, nikel, kobalt, tembaga, dan mineral tanah jarang.
Baca juga: Peringati Hari Bumi, Kemenag Berencana Tanam 1 Juta Pohon
Di sisi lain, kebanyakan sumber daya tersebut terkonsentrasi di belahan bumi selatan. Kebutuhan sumber daya alam tersebut dapat mengubah geopolitik energi dan perdagangan global.
Profesor ilmu sistem bumi Stanford Doerr School of Sustainability Steve Davis, sekaligus penulis studi tersebut, menyampaikan kebanyakan pihak saat ini sekadar berfokus pada hal-hal baru.
"Dan tidak benar-benar mempertimbangkan manfaat keamanan saat beralih dari bahan bakar fosil," ujar Davis, dilansir dari Euronews, Kamis (10/4/2025).
Meski demikian, ujarnya, sebagian besar negara yang mengurangi ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil dan meningkatkan porsinya ke material-material tersebut sebenarnya merupakan kemenangan bagi ketahanan energi.
Baca juga: Setengah Emisi CO2 Dunia Berasal dari 36 Perusahaan Bahan Bakar Fosil
Para ilmuwan yang melakukan studi tersebut menganalisis kerentanan baru dari setiap negara yang melakukan dekarbonisasi dengan negara yang terus bergantung dengan bahan bakar fosil.
Para ilmuwan juga membuat basis data sumber energi negara-negara yang diteliti mulai dari minyak, gas, batu bara, uranium, hingga bahan bakar nabati (BBN).
Para peneliti menghitung berapa banyak sumber daya ini yang diperlukan untuk memenuhi permintaan energi di masing-masing dari 236 negara dalam 1.092 skenario berbeda untuk mencapai emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) secara global pada 2060.
Mereka kemudian membuat indeks risiko perdagangan berdasarkan ketersediaan cadangan energi domestik, pangsa permintaan untuk bahan bakar atau bahan tertentu yang dipenuhi oleh impor, nilai ekonomi impor, dan ukuran konsentrasi pasar yang banyak digunakan untuk mengukur ketahanan energi.
Baca juga: Pemerintah Baru Gunakan EBT 15 GW untuk Listrik, Sisanya Didominasi Energi Fosil
Para peneliti menemukan bahwa jika semua negara mempertahankan jaringan mereka saat ini, risiko terkait perdagangan terhadap ketahanan energi akan menurun rata-rata sebesar 19 persen.
Jika negara-negara memperluas jaringan mereka dan berdagang dengan semua pemilik sumber daya, maka risiko perdagangan akan turun rata-rata 50 persen.
Mengurangi kebutuhan bahan baku impor atau mengembangkan teknologi yang minim penggunaan bahan baku bisa menjadi cara lain bagi negara-negara yang tidak diberkahi sumber daya mineral dalam meminimalkan risiko perdagangan sambil menghilangkan bahan bakar fosil.
Menurut penelitian tersebut, risiko perdagangan juga turun rata-rata sebesar 17 persen jika tingkat daur untuk mineral penting seperti litium, nikel, dan indium dilipatgandakan empat kali lipat.
Baca juga: 5 Strategi Lawan Perubahan Iklim Versi Sekjen PBB, Pensiunkan Energi Fosil sampai Pembiayaan
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya