Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Investasi CCS yang Masuk Indonesia Capai Rp 640,79 triliun

Kompas.com - 22/04/2025, 07:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) menyebutkan, investasi penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS yang masuk ke Indonesia telah mencapai 38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 640,79 triliun.

Tawaran tersebut sedang dievaluasi untuk pengembangan teknologi CCS di wilayah Laut Jawa, sebagaimana dilansir Antara.

Executive Director ICCSC Belladona Troxylon Maulianda menjelaskan, saat ini investasi tersebut sudah masuk meskipun proyek pengembangan CCS untuk kawasan Laut Jawa akan dimulai pada 2030.

Baca juga: PLTU Paiton Didorong Terapkan Co-firing Biomassa hingga CCS

"(Investasi) ini dari berbagai perusahaan, dari perusahaan multinasional dan juga perusahaan nasional, itu salah satu investasinya adalah dari Exxon," kata Belladona dalam konferensi pers CCS Forum 2025 di Jakarta, Senin (21/4/2025).

Dia memaparkan, Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon dioksida mencapai 200 tahun, tidak hanya untuk menampung emisi domestik tetapi juga dari negara-negara tetangga.

Rantai pasok dari CCS diproyeksikan mampu menciptakan hingga 170.000 lapangan kerja setiap tahunnya dan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) 0,8 persen sampai dengan 1 persen.

Meski demikian, Belladona tak menampik bahwa CCS merupakan teknologi yang menuntut investasi besar. Oleh karena itu, kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi kunci.

Baca juga: RI Buka Peluang Lanjutkan Kerja Sama Bangun Fasilitas CCS dengan AS

"Ini adalah teknologi yang membutuhkan investasi yang cukup besar ya. Jadi itu (investasi) merupakan salah satu tantangannya, dan ini kita belajar dari negara-negara leading countries lain seperti Norwegia dan AS," jelas Belladona.

Dia menyebutkan, kerja sama Pertamina dan Exxon sebagai contoh konkret dari kolaborasi strategis dalam menciptakan CCS hub yang berpotensi menjadi rujukan di kawasan.

Dekarbonisasi

Dia menambahkan, Indonesia memiliki keuntungan strategis karena kaya akan industri hilir seperti petrokimia, baja, dan semen.

Sektor-sektor tersebut sulit untuk didekarbonisasi meskipun sudah menerapkan elektrifikasi atau energi terbarukan.

"Walaupun mereka melakukan elektrifikasi, mereka masih menghasilkan emisi yang cukup tinggi. Jadi tentunya mereka harus melakukan dekarbonisasi lainnya dan secara volume. Berdasarkan teknologi dan sains, CCS itu paling besar yang bisa mengeduksi volumenya," terang Belladona.

Baca juga: Dua Perusahaan Multinasional Bersiap Bangun Fasilitas CCS di Indonesia

Dia bertutur, tren global saat ini menuntut produk dengan jejak karbon rendah seperti green products atau blue products.

Bahkan negara-negara Uni Eropa (UE) bakal menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) pada 2026, yang mewajibkan seluruh produk impor memiliki emisi rendah.

"Jadi semua barang-barang yang impor ke UE harus produk rendah karbon, kalau tidak mereka akan mengenakan pajak atau bisa sama sekali tidak bisa diimpor ke UE. Jadi itu adalah peluangnya,: kata dia.

Selain itu, peluang juga muncul dari sektor pupuk. Menurutnya, Indonesia berpotensi besar menghasilkan amonia biru atau blue ammonia, yaitu amonia yang emisinya telah ditangkap dan disimpan melalui CCS.

Produk ini diminati oleh pasar luar negeri seperti Jepang untuk digunakan dalam pembangkit listrik rendah emisi.

Baca juga: Kebocoran CCS Berisiko Perparah Perubahan Iklim, Bagaimana Mitigasinya?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menteri LH Kritik Ekspansi Lahan Sawit yang Hilangkan Keanekaragaman Hayati
Menteri LH Kritik Ekspansi Lahan Sawit yang Hilangkan Keanekaragaman Hayati
Pemerintah
KLH Awasi 5 Perusahaan, Diduga Buang Limbah yang Cemari Sungai Brantas
KLH Awasi 5 Perusahaan, Diduga Buang Limbah yang Cemari Sungai Brantas
Pemerintah
Dinilai Tak Produktif, 78.550 Ha Tambak Udang di Pantura Bakal Diganti Budi Daya Tilapia
Dinilai Tak Produktif, 78.550 Ha Tambak Udang di Pantura Bakal Diganti Budi Daya Tilapia
Pemerintah
KKP Setop Kerja Sama dengan Vietnam Imbas Maraknya Penjualan Benih Lobster Ilegal
KKP Setop Kerja Sama dengan Vietnam Imbas Maraknya Penjualan Benih Lobster Ilegal
Pemerintah
Dampak Pemanasan Global, Turbulensi di Udara Makin Meningkat
Dampak Pemanasan Global, Turbulensi di Udara Makin Meningkat
Pemerintah
Deforestasi Renggut Nyawa 500.000 Orang dalam Dua Dekade Terakhir
Deforestasi Renggut Nyawa 500.000 Orang dalam Dua Dekade Terakhir
Pemerintah
Terapkan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan, BCA Expo 2025 Pangkas Emisi Karbon 18,1 Ton
Terapkan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan, BCA Expo 2025 Pangkas Emisi Karbon 18,1 Ton
Swasta
Cat Mobil Berperan dalam Pemanasan Kota, Kok Bisa?
Cat Mobil Berperan dalam Pemanasan Kota, Kok Bisa?
Pemerintah
Produksi Pangan Dunia Cukup, tapi Banyak yang Tak Sampai ke Masyarakat
Produksi Pangan Dunia Cukup, tapi Banyak yang Tak Sampai ke Masyarakat
LSM/Figur
99.032 Hektare Hutan dan Lahan Kebakaran, Terbanyak di NTT dan Sumut
99.032 Hektare Hutan dan Lahan Kebakaran, Terbanyak di NTT dan Sumut
Pemerintah
EFT sebagai Jalan Baru Menuju Keadilan Ekologis
EFT sebagai Jalan Baru Menuju Keadilan Ekologis
Advertorial
BMKG: Suhu Laut Lebih Hangat, Hujan Ekstrem Masih Bayangi Tahun 2025
BMKG: Suhu Laut Lebih Hangat, Hujan Ekstrem Masih Bayangi Tahun 2025
Pemerintah
KLH: Sumatera dan Kalimantan Masih Berisiko Tinggi Alami Karhutla
KLH: Sumatera dan Kalimantan Masih Berisiko Tinggi Alami Karhutla
Pemerintah
Nestapa Nelayan di 'Segitiga Bermuda-nya' Indonesia, Harga Ikan Anjlok, Hasil Tangkapan Dibuang
Nestapa Nelayan di "Segitiga Bermuda-nya" Indonesia, Harga Ikan Anjlok, Hasil Tangkapan Dibuang
LSM/Figur
Gajah Sumatera Mati di Aceh Timur, BKSDA Curigai Racun sebagai Sebab
Gajah Sumatera Mati di Aceh Timur, BKSDA Curigai Racun sebagai Sebab
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau