KOMPAS.com — Gaya hidup berkelanjutan seringkali diasosiasikan dengan harga yang mahal dan pola konsumsi kelas menengah atas.
Namun, Cynthia Suci Lestari, penggiat gaya hidup slow fashion dan berkelanjutan dari komunitas @lyfewithless membantah hal tersebut.
Slow fashion, menurut Cynthia, tidak selalu soal membeli produk-produk dengan label sustainability, tetapi juga menyangkut cara kita memperlakukan pakaian yang sudah dimiliki.
“Memperpanjang umur pakaian itu juga praktik slow fashion. Mengenakan baju preloved dibanding baju baru termasuk slow fashion. Bahkan tukeran atau saling pinjam baju dengan teman juga termasuk slow fashion,” jelasnya saat dihubungi Kompas.com pada Jumat (25/04/2025).
Cynthia percaya bahwa gaya hidup ini dapat dilakukan siapa saja yang ingin berkontribusi mengurangi limbah dari aktivitas sehari-hari.
Pandangan ini cukup relevan, terutama di tengah data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mencatat, pada tahun 2021 Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian. Angka itu setara dengan 12 persen dari total limbah rumah tangga pada 2024.
Baca juga: Kurangi Sampah “Fast Fashion” lewat Gerakan Barter Pakaian
Cynthia tidak menampik bahwa produk dari brand yang telah tersertifikasi sustainability memiliki harga yang relatif tinggi. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan ekonomi produksi yang sederhana: semakin sedikit barang yang dibuat, semakin tinggi pula biaya produksinya.
Produk-produk dari brand berkelanjutan tidak dibuat secara massal. Proses produksinya lebih rumit dan berfokus pada kualitas, bukan kuantitas. Di sisi lain, mereka juga memilih bahan-bahan ramah lingkungan dan mengikuti prinsip etika bisnis.
“Bahan yang digunakan di brand-brand sustainability nggak akan pakai kain yang ada campuran plastiknya, yang mana harganya lebih murah,” ujar Cynthia.
Namun, ia menegaskan, membeli dari brand tersertifikasi bukanlah satu-satunya jalan untuk hidup berkelanjutan.
“Membeli brand-brand ini atau enggak sama sekali, dua-duanya sah-sah saja. Yang penting komitmen. Setiap orang punya kondisi berbeda, jadi tinggal pilih jalan masing-masing dalam mendukung keberlanjutan,” katanya.
Selain dianggap mahal, gaya hidup berkelanjutan juga sering dicap sebagai sesuatu yang rumit. Cynthia menilai ini lebih kepada soal kebiasaan dan pola pikir.
“Ini sebenarnya cuma tentang mindset dan kebiasaan aja,” ujarnya.
Misalnya, memilah sampah, membawa tumbler sendiri, atau menyiapkan wadah makan sendiri agar tidak perlu menggunakan plastik saat membeli makanan. Praktik-praktik sederhana itu sering dianggap merepotkan, padahal menurut Cynthia, itu bagian dari tanggung jawab sebagai manusia yang menumpang hidup di bumi ini.
Baca juga: Dari Krisis ke Kesadaran, Perjalanan Slow Fashion Chynthia Suci Lestari
“Karena nggak terbiasa jadi terlihat sulit,” katanya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya