KOMPAS.com - Ilmuwan kini bisa berhasil menghitung seberapa besar dampak aktivitas perusahaan energi fosil terhadap kerugian ekonomi akibat perubahan iklim.
Penghitungan tersebut dilakukan oleh dua peneliti dari Dartmouth College, Amerika Serikat (AS), dan diterbitkan di jurnal Nature, Rabu (23/4/2025), sebagaimana dilansir Euronews.
Menurut penghitungan dan kalkulasi mereka, perusahaan-perusahaan migas besar menyebabkan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim sebanyak 28 triliun dollar AS atau sekitar Rp 471.327 triliun atau Rp 471 kuadriliun.
Baca juga: Emisi Industri Bahan Bakar Fosil Picu Kenaikan Signifikan Permukaan Laut
Para peneliti tersebut melakukan penghitungan dengan memperkirakan polusi yang disebabkan oleh 111 perusahaan tinggi karbon di dunia.
Para peneliti memperkirakan, setiap 1 persen gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer sejak 1990 telah menyebabkan kerugian senilai 502 miliar dollar AS atau sekitar Rp 8,4 kuadriliun hanya akibat kelebihan panas karena pemanasan global.
Penghitungan yang mereka lakukan belum termasuk biaya yang dikeluarkan akibat cuaca ekstrem lainnya akibat perubahan iklim seperti badai, kekeringan, dan banjir.
Dari kalkulasi yang dilakukan, separuh jumlah kerugian ekonomi akibat perubahan iklim, berasal dari 10 produsen bahan bakar fosil yakni Saudi Aramco, Gazprom, Chevron, ExxonMobil, BP, Shell, National Iranian Oil Co, Pemex, Coal India, dan British Coal Corporation.
Di urutan teratas, Saudi Aramco dan Gazprom masing-masing disebut peneliti menyebabkan kerugian ekonomi senilai lebih dari 2 triliun dollar AS atau sekitar Rp 33 kuadriliun, menurut perhitungan tim peneliti.
Baca juga: Transisi dari Bahan Bakar Fosil Bisa Perkuat Ketahanan Energi Negara
Salah satu penulis studi tersebut, Justin Mankin, menuturkan, studi tersebut berangkat dari pertanyaan: siapa yang harus diminta pertanggungjawaban atas kerugian ekonomi akibat perubahan iklim?
"Dan itu benar-benar mengarah pada pertanyaan termodinamika tentang dapatkah kita melacak bahaya iklim dan atau kerusakannya kembali ke penghasil emisi tertentu?" Kata Mankin, dilansir dari Euronews, Kamis (24/4/2025) .
Para peneliti menuturkan, mereka memulai kalkulasinya melalui emisi akhir yang diketahui dari berbagai produk yang diproduksi oleh 111 perusahaan berorientasi karbon terbesar yang telah ada sejak 137 tahun lalu.
Produk-produk tersebut seperti bensin atau listrik dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
Mereka menggunakan 1.000 simulasi komputer yang berbeda untuk menerjemahkan emisi tersebut menjadi perubahan suhu permukaan rata-rata Bumi dengan membandingkannya dengan dunia tanpa emisi dari perusahaan-perusahaan yang diteliti.
Baca juga: Setengah Emisi CO2 Dunia Berasal dari 36 Perusahaan Bahan Bakar Fosil
Para peneliti juga menghitung seberapa besar polusi masing-masing perusahaan berkontribusi terhadap lima hari terpanas dalam setahun.
Caranya yakni menggunakan 80 simulasi komputer lagi dan kemudian menerapkan rumus yang menghubungkan intensitas panas ekstrem dengan perubahan dalam hasil ekonomi.
Sistem ini dimodelkan berdasarkan teknik yang telah mapan yang telah digunakan para ilmuwan selama lebih dari satu dekade untuk menghubungkan peristiwa cuaca ekstrem dengan perubahan iklim.
Mankin mengatakan, penelitiannya tersebut membuktikan secara ilmiah siapa yang berkontribusi terhadap kerusakan akibat perubahan iklim.
Shell menolak berkomentar saat dihubungi Euronews. Aramco, Gazprom, Chevron, Exxon Mobil, dan BP tidak menanggapi permintaan komentar dari Euronews.
Baca juga: Cuap-cuap Transisi Energi, G7 Masih Subsidi Bahan Bakar Fosil
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya