JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengusulakan enam langkah bagi pemerintah mengkatkan ekosistem hidrogen hijau untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan biaya produksi hidrogen hijau diprediksi menurun seiring dengan penurunan harga listrik dari energi surya dan angin.
Saat ini, harga senyawa itu berkisar antara 4,3-8,3 dollar AS per kilogram. Dengan skenario strategis, Indonesia berpeluang menurunkannya hingga 2 dollar AS per kilogram sebelum tahun 2040.
"Pertama, pengembangan teknologi dan energi terbarukan melalui percepatan penyebaran energi terbarukan untuk menurunkan biaya listrik produksi hidrogen," ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Jumat (25/4/2025).
Baca juga: Bahan Bakar Hidrogen Jadi Salah Satu Strategi Dekarbonisasi Indonesia
Kemudian, mendorong produksi lokal elektroliser melalui kemitraan publik dan swasta. Kedua, mengintegrasikan hidrogen ke sektor ketenagalistrikan, industri pupuk atau kilang, serta memulai ekspor melalui kesepakatan dengan pembeli internasional.
Lalu, pengembangan infrastruktur dengan membangun jalur pipa maupun stasiun pengisian hidrogen, dan mengkaji kesiapan pelabuhan untuk ekspor amonia.
"Keempat, insentif dan pembiayaan, dengan memberikan jaminan offtaker oleh BUMN, serta insentif harga dan pengenaan karbon untuk mengurangi risiko investasi awal," ucap Fabby.
Kelima, pemerintah perlu menyusun klasifikasi dan sertifikasi hidrogen nasional, memasukkan proyek ke Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), serta memperkuat kebijakan energi terbarukan yang mendukung proyek hidrogen.
Baca juga: PLN: Harga Bahan Bakar Hidrogen Lebih Murah Dibandingkan Bensin
Terakhir, meningkatkan keahlian sumber daya manusia melalui pelatihan, sertifikasi, dan pemetaan kebutuhan tenaga kerja guna mendukung rantai nilai hidrogen hijau
“Untuk membangun ekonomi hidrogen hijau yang kompetitif, Indonesia perlu pendekatan terkoordinasi yang mencakup pengembangan teknologi, regulasi, pembiayaan, dan kerja sama internasional," papar Fabby.
"Hidrogen hijau adalah peluang emas yang tidak hanya mendukung dekarbonisasi, tetapu juga membuka pasar baru dan memperkuat ketahanan energi nasional,” imbuh dia.
Dia berpandangan, Indonesia berpeluang menjadi pemasok hidrogen hijau di pasar internasional. Mengutip data Deloitte 2023, pasar hidrogen Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh 51 miliar dollar AS di 2030, dan 141 miliar dollar AS pada 2050.
Baca juga: Surplus, Pemerintah Bakal Ekspor Hidrogen ke Asia Pasifik
Sekitar sepertiga dari permintaan global hidrogen pada 2050 diproyeksikan berasal dari perdagangan lintas negara.
"Jika Indonesia ingin ambil bagian dalam pasar energi bersih global, investasi di ekosistem hidrogen hijau harus dimulai dari hulu ke hilir sekarang," tutur Fabby.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya