Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WWF Ungkap Peran UMKM Berkelanjutan dalam Dekarbonisasi

Kompas.com - 09/05/2025, 18:36 WIB
Eriana Widya Astuti,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pendanaan untuk dekarbonisasi selama ini lebih banyak menyasar industri besar. Padahal, 70–90 persen emisi gas rumah kaca dari perusahaan besar justru berasal dari pemasok mereka—yakni pelaku UMKM di berbagai tingkat rantai pasok.

Hal ini disampaikan Rizkia Sari Yudawinata, perwakilan dari Sustainable Finance Advisor WWF Indonesia, dalam Lestari Forum 2025 bertema “Sustainable Ecosystem Starts with SME–Corporate Collaboration” yang digelar di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).

Rizki menyebut bahwa banyak bank belum optimal memberikan pendanaan kepada UMKM.

Baca juga: IMF: AI Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Biaya Emisi Karbon Bisa Dikelola

 

Selain karena alasan seperti ketiadaan jaminan, para pemberi pinjaman juga sering kali tidak menyadari bahwa UMKM memegang peran kunci dalam mewujudkan rantai pasok rendah emisi yang mendukung agenda dekarbonisasi industri besar.

“Selama ini narasi dekarbonisasi hanya menyoroti industri besar, karena mereka dianggap paling berdampak dalam pengurangan emisi karbon jika mendapat pendanaan,” ujar Rizki.

Menurut Rizki, pendekatan ini tidak sepenuhnya keliru. Industri besar memang memiliki pengaruh besar dalam menurunkan emisi, dan pendanaan pada mereka secara langsung menghasilkan dampak yang signifikan.

Namun pada praktiknya, ketika industri besar seperti Puma, Nike, H&M, hingga Adidas diminta pemerintah untuk memastikan rantai pasok mereka rendah karbon, mereka tidak hanya mengandalkan proses internal.

Mereka akan menyasar para pemasok (supplier) mereka—yang sebagian besar adalah UMKM—dan meminta mereka melaporkan jejak emisi produksi masing-masing.

Baca juga: Perusahaan Ini Terapkan Cara Baru untuk Kurangi Emisi Karbon dari Kebakaran Hutan

Industri besar memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai audit emisi, audit energi, hingga pengembangan roadmap dekarbonisasi. Tidak jarang, mereka mengalokasikan dana hingga 200 juta dolar AS untuk memastikan strategi keberlanjutan mereka berjalan.

Mereka juga sudah berkomitmen terhadap target berbasis sains (science-based target initiative) dan menetapkan tenggat waktu menuju bebas emisi.

Sebaliknya, UMKM—meskipun menjalankan praktik bisnis berkelanjutan sesuai kapasitas—sering kali tidak memiliki pengetahuan, alat, maupun sumber daya untuk mengukur dan menurunkan emisi secara sistematis.

Jasa audit ESG, misalnya, berada di luar jangkauan banyak pelaku UMKM. Biaya audit saja bisa mencapai 10–15 persen dari modal awal mereka.

“Inilah mengapa lembaga keuangan perlu melihat UMKM sebagai bagian penting dari strategi dekarbonisasi,” jelas Rizki.

Baca juga: Mikroplastik Hambat Laut Serap Karbon, Ancaman untuk Iklim

Ia menekankan bahwa pendanaan dekarbonisasi untuk UMKM sama pentingnya dengan pendanaan untuk industri besar. Memberdayakan sektor ringan dengan pembiayaan yang inklusif akan memperkuat transformasi industri besar dari hulu ke hilir.

“Ternyata ada. Ternyata penting. Peran sektor ringan ini dalam mendukung dekarbonisasi, bukan hanya sektor dengan ambisi besar,” pungkas Rizki.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau