KOMPAS.com — Transisi energi Indonesia dinilai masih pada pendekatan coba-coba teknologi, alih-alih fokus pada hasil yang nyata dan berkeadilan.
Hal ini disampaikan Policy Strategist CERAH, Wicaksono Gitawan, dalam diskusi CERAH Insight Talk bertajuk “Agenda Iklim dan Transisi Energi di Tengah Memanasnya Situasi Geopolitik Internasional" pada Rabu (7/5/2025).
Menurut Wicaksono, sejumlah rencana transisi yang tercantum dalam dokumen pemerintah, seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, justru menunjukkan kecenderungan mempertahankan energi fosil lewat teknologi transisi yang dinilai tidak efektif dan berisiko menambah emisi.
“Transisi energi seharusnya menciptakan kedaulatan dan keadilan. Tapi yang terjadi sekarang, kita justru terlalu banyak mencoba teknologi yang enggak menyelesaikan persoalan bauran energi kita,” ujarnya.
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sebetulnya telah tercantum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Perjanjian Paris.
Namun, implementasinya masih jauh dari memadai. Target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2024, misalnya, itu tidak tercapai. Data Kementerian ESDM mencatat bauran energi bersih Indonesia pada 2024 baru mencapai sekitar 13–14 persen. Tenggat waktu pun kembali dimundurkan menjadi 2030.
Alih-alih memperkuat pengembangan energi bersih berbasis kebutuhan dalam negeri, Indonesia dinilai masih terpengaruh dari teknologi dari negara lain, yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal.
“Teknologi yang dibawa negara tetangga, termasuk dari kerja sama multilateral, tidak selalu cocok untuk kita. Sering kali malah memperpanjang ketergantungan kita pada energi fosil,” kata Wicaksono.
Baca juga: Polarisasi Isu Energi Panas Bumi, Bagaimana Mengatasinya?
Adapun, meski pendanaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) kini goyah, terutama karena sikap Amerika Serikat yang menarik diri, Wicaksono menyebut Indonesia masih memiliki akses ke skema seperti Belt and Road Initiative dari China dan Asia Zero Emission Community dari Jepang. Walau, menurutnya, perlu ada kehati-hatian dalam menilai arah dan dampak investasi tersebut.
“Tidak semua investasi dari China dan Jepang itu mendukung komitmen netral karbon,” tegasnya.
Investasi China, misalnya, masih dominan di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk mendukung smelter nikel. Meskipun pemerintah China sebelumnya menyatakan akan menghentikan pendanaan PLTU di luar negeri, faktanya sejumlah proyek PLTU aktif diluar negeri hingga kini tetap dijalankan oleh perusahaan-perusahaan dari negara tersebut.
Sementara Jepang, lanjut Wicaksono, banyak mengandalkan biomassa dan gas alam (LNG). Biomassa yang digunakan juga berisiko tinggi terhadap deforestasi karena berbasis pembakaran batu bara bersama limbah kayu, yang stoknya tidak bisa dijamin berkelanjutan.
Teknologi carbon capture juga disebut belum menjanjikan. “Kementerian ESDM memang akan mencobanya di PLTU. Tapi sampai sekarang, teknologi ini baru efektif diterapkan di tiga PLTU secara global dan hanya menyerap kurang dari 50 persen emisi,” kata Wicaksono.
Menurutnya, investasi transisi energi seharusnya lebih difokuskan pada solusi yang nyata dan pembangunan kapasitas manusia.
“Dana sebaiknya digunakan untuk mendukung mereka yang sudah menggunakan energi terbarukan, untuk pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan kemampuan (upskilling) tenaga kerja di sektor energi. Inovasi hanya bisa lahir kalau sumber daya manusianya siap,” ujarnya.
Dengan pendekatan seperti ini, kata dia, Indonesia tak hanya bisa mencapai ketahanan energi, tetapi juga memperkuat ketahanan pekerja dan ekonomi secara keseluruhan.
“Kalau ini dilakukan secara menyeluruh, Indonesia bisa memperkuat kedaulatan energi dan tetap punya peluang mengejar target ekonomi 8 persen, tanpa meninggalkan keadilan dalam transisi,” pungkas Wicaksono.
Baca juga: Percepatan Transisi Energi Lindungi RI dari Dampak Gejolak Geopolitik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya