JAKARTA, KOMPAS.com — Pendiri Toko Kopi Tuku, Andanu Prasetyo, menegaskan bahwa meraih keuntungan dalam bisnis memang penting, tetapi menjalankan usaha tanpa merusak lingkungan juga tak kalah krusial.
Pernyataan ini ia sampaikan dalam acara World Coffee Asia, SCA Lecture bertajuk Promoting Sustainable Consumption and Production in Coffee di Jakarta Convention Center, Kamis (15/5/2025).
Didirikan pada 2015, Kopi Tuku awalnya dibangun dengan misi sederhana: meningkatkan konsumsi kopi. Gagasan itu muncul setelah berdialog dengan para petani kopi tentang kondisi yang saat itu mengkhawatirkan bagi keberlanjutan mereka.
“Tapi, semakin banyak profit yang didapatkan, timbul keinginan untuk tidak menyakiti orang lain, makhluk lain,” ujar Andanu.
Baca juga: Perusahaan Susu dan Kopi Lambat Atasi Emisi Metana
Ia mengaku merasa tidak adil jika dirinya menikmati manfaat dari alam, sementara kegiatan bisnis justru merusaknya. Karena itu, Tuku mulai menerapkan praktik bisnis yang bertanggung jawab.
Meski begitu, menurutnya, tantangan tidak banyak berubah: konsumen masih cenderung abai terhadap isu keberlanjutan dan dampak lingkungan dari konsumsi mereka.
Namun, Andanu melihat hal ini lebih sebagai masalah keterbatasan informasi. “Oleh sebab itu, kami membangun konsep model bisnis yang berkelanjutan,” tambahnya.
Membangun bisnis dengan prinsip berkelanjutan, menurutnya, bukan hanya untuk memastikan agar operasional tidak memberikan dampak negatif pada lingkungan, tetapi juga sebagai upaya mengedukasi konsumen dan menciptakan sistem yang memungkinkan terciptanya hubungan yang ramah lingkungan antara kegiatan bisnis dan pelanggan.
Keberlanjutan pun diterapkan secara menyeluruh dalam ekosistem bisnis mereka, tidak hanya dalam operasional internal tetapi juga dalam interaksi dengan pelanggan — atau “Tetangga”, sebutan khas Tuku bagi konsumennya.
Dalam perjalanannya selama satu dekade, Tuku kini memiliki 62 cabang, 1.000 barista, memproduksi 600 kilogram biji kopi dan 200.000 kilogram gula aren, serta menjual 50.000 gelas kopi per hari. Seluruh rantai pasok, menurut Andanu, dipastikan bertanggung jawab dan berbasis prinsip keberlanjutan.
Baca juga: Tantangan Besar Petani di Balik Kenikmatan Kopi Gayo
Tidak hanya itu, Tuku juga mengklaim mendaur ulang 100 persen cangkir dan botol kopi yang digunakan. Bahkan, wadah pengiriman krimer berbahan aluminium foil dan plastik juga diolah kembali menjadi produk merchandise.
“Hal-hal seperti ini membantu kami mengurangi limbah yang merugikan orang lain atau bahkan alam,” kata Andanu.
Ia menambahkan bahwa keberlanjutan kini telah menjadi kebiasaan hidup dalam ekosistem bisnis Tuku, dan perlahan mulai memengaruhi masyarakat, terutama generasi muda.
Sementara itu, Co-founder Anomali Coffee, Irvan Helmi, menilai asumsi bahwa konsumen tidak peduli terhadap isu keberlanjutan tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, generasi muda, khususnya Gen Z, justru menunjukkan kecenderungan terhadap hal-hal yang autentik dan berdampak positif terhadap lingkungan.
“Mereka memiliki kecenderungan menyukai hal-hal yang autentik dan memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan,” ujarnya.
Irvan menambahkan bahwa perubahan ini menandai transformasi pasar menuju keberlanjutan. Apa yang dulu menjadi tantangan bagi Tuku, kini menjadi peluang untuk inovasi produk yang berkelanjutan dan memberi dampak nyata.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya