Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paparan Polusi Udara saat Anak-Anak Berdampak Hingga Usia Remaja

Kompas.com - 16/05/2025, 20:30 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penelitian terbaru dari University College London menyebut paparan polusi udara di masa kanak-kanak dikaitkan dengan kesehatan yang lebih buruk saat mereka remaja.

Temuan ini berdasarkan studi yang dilakukan terhadap anak muda di Inggris yang tinggal di daerah berpolusi selama masa kecil mereka. Mereka kemudian melaporkan mengalami keluhan kesehatan yang lebih buruk daripada teman sebaya pada usia 17 tahun.

Melansir Medical Xpress, Kamis (15/5/2025) dalam studinya, peneliti menganalisis data lebih dari 9.000 anak muda yang lahir pada tahun 2000–2002 yang mengambil bagian dalam Millennium Cohort Study.

Peneliti memeriksa alamat rumah peserta penelitian yang diambil dari lahir hingga usia 17 tahun dengan data geospasial yang menunjukkan tingkat kualitas udara di area seluas 200 meter di sekitar kode pos mereka.

Baca juga: Kendaraan Bermotor Bisa Sumbang 57 Persen Polusi Udara saat Kemarau

Para peneliti kemudian mengamati laporan kesehatan umum anak muda pada usia 17 tahun.

Tiga polutan udara dipertimbangkan dalam penelitian ini. Partikel padat (PM10) dan partikel padat halus (PM2.5), yang terdiri dari berbagai senyawa dan bahan kimia.

Studi kemudian menunjukkan remaja di Inggris yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara yang lebih tinggi selama masa kanak-kanak berisiko lebih besar melaporkan kesehatan yang lebih buruk pada akhir masa remaja dibandingkan teman sebayanya yang tinggal di lingkungan yang kurang tercemar.

Penelitian menemukan bahwa tahun-tahun awal merupakan periode yang sangat sensitif bagi kesehatan anak-anak.

Mereka yang terpapar polusi udara tingkat tinggi pada usia 2 hingga 4 tahun memiliki risiko 15 persen–30 persen lebih tinggi untuk melaporkan kesehatan yang lebih buruk pada usia 17 tahun.

Sedangkan pada usia 5 hingga 7 tahun, risikonya 14-16 persen memiliki kesehatan yang lebih buruk.

Temuan penelitian juga menunjukkan ketidaksetaraan yang mencolok dalam paparan polusi udara pada anak-anak.

Individu dari keluarga etnis minoritas dan rumah tangga yang kurang mampu cenderung tumbuh di lingkungan dengan kualitas udara yang buruk.

Misalnya, anak-anak non-kulit putih terpapar kadar nitrogen dioksida 51 persen lebih tinggi daripada anak-anak kulit putih selama tahun-tahun awal kehidupan mereka.

"Studi baru kami menambahkan bukti baru yang penting tentang pentingnya tahun-tahun awal bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak," papar Dr. Gergo Baranyi, penulis utama studi ini.

Baca juga: Polusi Udara Paris Turun 50 Persen Usai Prioritaskan Penggunaan Sepeda

"Dengan menggunakan informasi yang mewakili secara nasional dengan geodata yang terhubung, temuan kami mengonfirmasi bahwa anak-anak lebih rentan terhadap polusi udara dengan dampak jangka panjang pada kesehatan umum mereka hingga akhir masa remaja," katanya lagi.

Penelitian juga menunjukkan anak-anak yang tinggal di daerah yang tercemar memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit pernapasan, tekanan darah tinggi, obesitas, masalah kesehatan mental, dan fungsi kognitif yang lebih rendah.

"Kebijakan yang mengurangi konsentrasi polusi udara di bawah batas pedoman Organisasi Kesehatan Dunia yang diakui dapat memberikan manfaat jangka panjang. Selain itu tingkat polusi yang tinggi di daerah kurang mampu harus secara khusus ditargetkan untuk mengatasi ketimpangan sosial ekonomi yang nyata dalam kualitas udara dan kesehatan umum," tambah Dr. Baranyi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Riau Masih Darurat Karhutla, Operasi Modifikasi Cuaca Digelar Sepekan
Riau Masih Darurat Karhutla, Operasi Modifikasi Cuaca Digelar Sepekan
Pemerintah
Program Kampung Nelayan Merah Putih Harus Bisa Identifikasi Kebutuhan Nelayan
Program Kampung Nelayan Merah Putih Harus Bisa Identifikasi Kebutuhan Nelayan
LSM/Figur
Pemerintah Targetkan 33.000 Ton Sampah Per Hari Bisa Diolah Jadi Sumber Listrik
Pemerintah Targetkan 33.000 Ton Sampah Per Hari Bisa Diolah Jadi Sumber Listrik
Pemerintah
Rahasia Turki Jadi Destinasi Wisata Terbesar Keempat di Dunia: Ekosistem yang Berkelanjutan
Rahasia Turki Jadi Destinasi Wisata Terbesar Keempat di Dunia: Ekosistem yang Berkelanjutan
Pemerintah
PepsiCo Kelola Sampah Sendiri, Jadi Karya Seni dan Souvenir
PepsiCo Kelola Sampah Sendiri, Jadi Karya Seni dan Souvenir
Swasta
Buka Akses Warga Pelosok, Pasar Modal Hadirkan Jembatan Pelosok Negeri di Lampung
Buka Akses Warga Pelosok, Pasar Modal Hadirkan Jembatan Pelosok Negeri di Lampung
Swasta
Staf Maskapai Dunia Desak Industri Penerbangan Percepat Aksi Iklim
Staf Maskapai Dunia Desak Industri Penerbangan Percepat Aksi Iklim
Pemerintah
Pariwisata Jadi Kontributor Pertumbuhan Ekonomi tapi Rentah Perubahan Iklim
Pariwisata Jadi Kontributor Pertumbuhan Ekonomi tapi Rentah Perubahan Iklim
Pemerintah
Tak Cuma Rusak Lingkungan, Panas Ekstrem Berdampak pada Kesehatan Emosi Kita
Tak Cuma Rusak Lingkungan, Panas Ekstrem Berdampak pada Kesehatan Emosi Kita
Pemerintah
Kolaborasi Tiga Kampus Ini Hasilkan Teknologi Filter Air Berbasis Nanomaterial
Kolaborasi Tiga Kampus Ini Hasilkan Teknologi Filter Air Berbasis Nanomaterial
LSM/Figur
Bali Waste Cycle Sulap Sampah Plastik Jadi Papan hingga Kaki Palsu
Bali Waste Cycle Sulap Sampah Plastik Jadi Papan hingga Kaki Palsu
LSM/Figur
Jurnalisme Positif Bisa Jadi Solusi Krisis Iklim, Seperti Apa?
Jurnalisme Positif Bisa Jadi Solusi Krisis Iklim, Seperti Apa?
Pemerintah
Dukung Masa Depan Energi Indonesia, Baker Hughes Teken Kontrak 90 Bulan dengan BP
Dukung Masa Depan Energi Indonesia, Baker Hughes Teken Kontrak 90 Bulan dengan BP
Swasta
Kebakaran Lahan di Rinjani, 70 Hektare Lahan Rusak
Kebakaran Lahan di Rinjani, 70 Hektare Lahan Rusak
Pemerintah
Ketegangan Politik Global Seharusnya Picu Transisi Energi, Kenapa Indonesia Masih Impor?
Ketegangan Politik Global Seharusnya Picu Transisi Energi, Kenapa Indonesia Masih Impor?
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau