JAKARTA, KOMPAS.com - Ecoton bersama beberapa komunitas lainnya menemukan kandungan mikroplastik pada organisme sungai seperti plankton, kepiting air tawar, hingga udang di Kali Surabaya.
Mikroplastik jenis fiber yang paling banyak ditemukan di seluruh titik pengambilan sampel, dengan konsentrasi tertinggi di hilir sungai kawasan Karangpilang dan Kramat Temenggung.
Salah satu tim peneliti mikroplastik, Ilham, menyebut uji laboratorium yang dilakukan Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai (Akamsi) dengan FTIR menunjukkan adanya polimer polyethylene (PE), polypropylene (PP), dan PET yang berasal dari limbah rumah tangga serta industri.
“Semakin banyaknya organisme perairan yang terpapar oleh mikroplastik, dapat disimpulkan kondisi ini disebabkan kondisi Kali Surabaya yang terabaikan," ungkap Ilham dalam keterangannya, Rabu (20/5/2025).
Baca juga: Mikroplastik Hambat Laut Serap Karbon, Ancaman untuk Iklim
"Karena itu, kita harus siap akan dampaknya saat mikroplastik masuk ke tubuh ikan, lalu dikonsumsi oleh kita,“ imbuh dia.
Selain itu, kualitas air sungai pun dilaporkan menurun. Ilham mengatakan, pengukuran kualitas air dari segmen hulu (Wringinanom), tengah (Cangkir), dan hilir (Karangpilang) memperlihatkan tren penurunan dissolved oxygen dari 4,69 miligram per liter menjadi 1,95 miligram per liter.
"Suhu air yang meningkat dan hilangnya vegetasi sempadan memperburuk kemampuan sungai untuk mendukung kehidupan akuatik. Di hilir, dominasi beton dan bangunan menggantikan zona penyangga alami," jelas Ilham.
Berdasarkan pemetaan spasial dengan citra satelit periode 2015-2025, Akamsi mengidentifikasi adanya 4.641 unit bangunan illegal yang berdiri tepat di atas sempadan Kali Surabaya. Bangunan-bangunan ini dinilai merebut ruang resapan air sekaligus sebagai sumber langsung pencemaran limbah rumah tangga dan industri.
Baca juga: KLH Dukung Bali Larang Produksi AMDK di Bawah 1 Liter, Ingatkan Bahaya Mikroplastik
Pihaknya mencatat, bangunan illegal tersebar di empat kabupaten/kota antara lain Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya.
“Bangunan liar ini bukan hanya soal melanggar aturan tata ruang. Ini adalah wujud gemblang dari ketidakpeduliannya sistem terhadap kondisi sungai," tutur anggota komunitas Akamsi, Rio Ardiansa.
Sebelumnya, warga Desa Wringinanom, Gresik sempat melaporkan kematian massal ikan di permukaan Kali Surabaya. Bangkai ikan terlihat mengambang, menimbulkan bau menyengat dan keresahan warga.
Ecoton menyebut, fenomena tersebut bukan yanh pertama kali terjadi. Kejadian serupa sering kali berulang di hapir setiap tahunnya.
Baca juga: Mikroplastik Picu Biomineralisasi, Ganggu Keseimbangan Biota Laut
Akamsi pun menuntut beberapa hal kepada pemerintah, yakni:
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya