KOMPAS.com - Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa dari 186 negara yang diteliti, hanya ada satu negara yang memiliki kemampuan untuk secara mandiri memproduksi semua kebutuhan pangan bagi penduduknya tanpa perlu bergantung pada impor makanan dari luar negeri.
Hal ini menyoroti betapa langkanya kemandirian pangan total di dunia saat ini, dan menjadikan negara tersebut sebagai contoh yang unik dalam hal ketahanan pangan.
Studi yang dipublikasikan di Nature Food ini menyelidiki seberapa baik masing-masing negara dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya dalam tujuh kelompok makanan: buah-buahan, sayur-sayuran, susu, ikan, daging, protein nabati, dan makanan pokok bertepung.
Melansir Science Focus, Senin (23/5/2025) studi kemudian menemukan bahwa hanya Guyana, negara yang terletak di Amerika Selatan yang mampu untuk berswasembada pangan secara total.
Sementara itu China dan Vietnam berada di urutan kedua sebagai negara yang mampu memproduksi cukup makanan dalam enam dari tujuh kategori kelompok makanan.
Baca juga: IPB Rilis Inovasi Berbasis AI untuk Tingkatkan Ketahanan Pangan
Pada saat yang sama, studi juga menemukan terjadi kekurangan global dari tanaman padat nutrisi.
Kurang dari setengah negara yang terlibat dalam penelitian yang mampu cukup memproduksi cukup protein nabati seperti kacang-kacangan, buncis, lentil, dan biji-bijian. Dan hanya 24 persen dari negara yang diteliti yang menanam cukup sayuran.
Eropa dan Amerika Selatan pada umumnya lebih dekat untuk mencapai swasembada daripada negara-negara lain.
Namun, negara-negara kepulauan kecil, negara-negara di Jazirah Arab, dan negara-negara berpenghasilan rendah lebih cenderung bergantung pada impor asing untuk makanan.
Enam negara yakni Afghanistan, Uni Emirat Arab, Irak, Makau, Qatar, dan Yaman tidak menghasilkan cukup banyak kelompok makanan apa pun untuk dianggap swasembada dalam kategori tersebut.
"Menjadi negara yang tidak sepenuhnya mandiri dalam hal pangan tidak selalu buruk. Ada alasan-alasan yang sah dan seringkali justru menguntungkan bagi suatu negara untuk tidak memproduksi mayoritas kebutuhan pangannya sendiri," kata Dr. Jonas Stehl, peneliti di Göttingen dan penulis pertama penelitian ini.
Misalnya, suatu negara mungkin tidak memiliki cukup hujan, tanah berkualitas baik, atau suhu yang stabil untuk menanam cukup makanan bagi penduduknya.
Stehl mengatakan bahwa mengimpor makanan dari daerah yang lebih cocok untuk memproduksinya juga dapat menghemat biaya.
"Namun, tingkat swasembada yang rendah dapat mengurangi kemampuan suatu negara untuk menanggapi guncangan pasokan pangan global yang tiba-tiba seperti kekeringan, perang, atau larangan ekspor," katanya.
Dalam studi ini, tim peneliti dari Universitas Göttingen, Jerman, dan Universitas Edinburgh, Inggris mengukur berapa banyak makanan yang diproduksi setiap negara.
Baca juga: Konservasi Laut Jadi Strategi KKP Hadapi Ancaman Krisis Pangan
Kemudian mereka membandingkannya dengan apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi warga negaranya, menurut diet Livewell dari World Wildlife Fund.
Diet Livewell didefinisikan sebagai pola makan yang fleksibel yang mendorong perubahan penting dalam kebiasaan makan. Prinsip utamanya adalah menggeser sumber protein utama dari hewani ke nabati, sekaligus meningkatkan asupan makanan sehat seperti sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian utuh.
Sebaliknya, diet ini juga merekomendasikan pengurangan konsumsi makanan yang tinggi lemak, garam, dan gula. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan nutrisi yang lebih baik untuk kesehatan.
Stehl menambahkan bahwa peningkatan minat global terhadap kemandirian pangan nasional mungkin tidak hanya disebabkan oleh alasan-alasan ekonomi atau keberlanjutan.
Sebaliknya, ia menyarankan bahwa hal ini juga bisa menjadi cerminan dari perubahan politik yang lebih luas di dunia, seperti meningkatnya sentimen nasionalisme di berbagai negara dan keinginan beberapa pihak untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap negara-negara asing dalam hal pasokan makanan.
“Membangun rantai pasokan pangan yang tangguh sangat penting untuk memastikan kesehatan masyarakat,” katanya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya