Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Ungkap Hanya Satu Negara di Dunia yang Bisa Swasembada Pangan

Kompas.com, 3 Juni 2025, 16:42 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa dari 186 negara yang diteliti, hanya ada satu negara yang memiliki kemampuan untuk secara mandiri memproduksi semua kebutuhan pangan bagi penduduknya tanpa perlu bergantung pada impor makanan dari luar negeri.

Hal ini menyoroti betapa langkanya kemandirian pangan total di dunia saat ini, dan menjadikan negara tersebut sebagai contoh yang unik dalam hal ketahanan pangan.

Studi yang dipublikasikan di Nature Food ini menyelidiki seberapa baik masing-masing negara dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya dalam tujuh kelompok makanan: buah-buahan, sayur-sayuran, susu, ikan, daging, protein nabati, dan makanan pokok bertepung.

Melansir Science Focus, Senin (23/5/2025) studi kemudian menemukan bahwa hanya Guyana, negara yang terletak di Amerika Selatan yang mampu untuk berswasembada pangan secara total.

Sementara itu China dan Vietnam berada di urutan kedua sebagai negara yang mampu memproduksi cukup makanan dalam enam dari tujuh kategori kelompok makanan.

Baca juga: IPB Rilis Inovasi Berbasis AI untuk Tingkatkan Ketahanan Pangan

Pada saat yang sama, studi juga menemukan terjadi kekurangan global dari tanaman padat nutrisi.

Kurang dari setengah negara yang terlibat dalam penelitian yang mampu cukup memproduksi cukup protein nabati seperti kacang-kacangan, buncis, lentil, dan biji-bijian. Dan hanya 24 persen dari negara yang diteliti yang menanam cukup sayuran.

Eropa dan Amerika Selatan pada umumnya lebih dekat untuk mencapai swasembada daripada negara-negara lain.

Namun, negara-negara kepulauan kecil, negara-negara di Jazirah Arab, dan negara-negara berpenghasilan rendah lebih cenderung bergantung pada impor asing untuk makanan.

Enam negara yakni Afghanistan, Uni Emirat Arab, Irak, Makau, Qatar, dan Yaman tidak menghasilkan cukup banyak kelompok makanan apa pun untuk dianggap swasembada dalam kategori tersebut.

"Menjadi negara yang tidak sepenuhnya mandiri dalam hal pangan tidak selalu buruk. Ada alasan-alasan yang sah dan seringkali justru menguntungkan bagi suatu negara untuk tidak memproduksi mayoritas kebutuhan pangannya sendiri," kata Dr. Jonas Stehl, peneliti di Göttingen dan penulis pertama penelitian ini.

Misalnya, suatu negara mungkin tidak memiliki cukup hujan, tanah berkualitas baik, atau suhu yang stabil untuk menanam cukup makanan bagi penduduknya.

Stehl mengatakan bahwa mengimpor makanan dari daerah yang lebih cocok untuk memproduksinya juga dapat menghemat biaya.

"Namun, tingkat swasembada yang rendah dapat mengurangi kemampuan suatu negara untuk menanggapi guncangan pasokan pangan global yang tiba-tiba seperti kekeringan, perang, atau larangan ekspor," katanya.

Dalam studi ini, tim peneliti dari Universitas Göttingen, Jerman, dan Universitas Edinburgh, Inggris mengukur berapa banyak makanan yang diproduksi setiap negara.

Baca juga: Konservasi Laut Jadi Strategi KKP Hadapi Ancaman Krisis Pangan

Kemudian mereka membandingkannya dengan apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi warga negaranya, menurut diet Livewell dari World Wildlife Fund.

Diet Livewell didefinisikan sebagai pola makan yang fleksibel yang mendorong perubahan penting dalam kebiasaan makan. Prinsip utamanya adalah menggeser sumber protein utama dari hewani ke nabati, sekaligus meningkatkan asupan makanan sehat seperti sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian utuh.

Sebaliknya, diet ini juga merekomendasikan pengurangan konsumsi makanan yang tinggi lemak, garam, dan gula. Tujuannya adalah untuk mencapai keseimbangan nutrisi yang lebih baik untuk kesehatan.

Stehl menambahkan bahwa peningkatan minat global terhadap kemandirian pangan nasional mungkin tidak hanya disebabkan oleh alasan-alasan ekonomi atau keberlanjutan.

Sebaliknya, ia menyarankan bahwa hal ini juga bisa menjadi cerminan dari perubahan politik yang lebih luas di dunia, seperti meningkatnya sentimen nasionalisme di berbagai negara dan keinginan beberapa pihak untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap negara-negara asing dalam hal pasokan makanan.

“Membangun rantai pasokan pangan yang tangguh sangat penting untuk memastikan kesehatan masyarakat,” katanya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau