KOMPAS.com - Badan Energi Internasional (IEA) menyebut meski dunia
membutuhkan mineral kritis untuk masa depan energi bersih, kondisi pasar dan ekonomi saat ini tidak menentu membuat investor enggan untuk berinvestasi.
Hal tersebut berpotensi menciptakan kekurangan pasokan di kemudian hari jika tidak ditangani.
Mineral kritis seperti tembaga, litium, nikel, kobalt, dan unsur tanah jarang merupakan komponen penting dari banyak teknologi energi yang berkembang pesat saat ini, mulai dari turbin angin dan jaringan listrik hingga kendaraan listrik.
Permintaan akan bahan-bahan ini pun tumbuh dengan cepat seiring dengan semakin cepatnya transisi energi.
Namun dalam laporan "Global Critical Minerals Outlook 2025" yang diterbitkannya, IEA menyebut momentum investasi dalam pengembangan mineral kritis melemah pada tahun 2024, hanya naik 5 persen dibandingkan dengan 14 persen pada tahun 2023.
Baca juga: Energi Nuklir Eropa Perlu Suntikan Dana Lebih dari 240 Miliar Euro
Setelah disesuaikan dengan inflasi biaya, pertumbuhan investasi riil hanya sebesar 2 persen, mencerminkan pengaruh dari ketidakpastian ekonomi dan pasar meskipun ada ekspektasi permintaan jangka panjang yang kuat.
Melansir The Economic Times, Minggu (8/6/2025) menurut IEA, aktivitas eksplorasi mineral baru mencapai titik jenuh setelah mengalami pertumbuhan yang konsisten sejak tahun 2020.
Meskipun pengeluaran untuk eksplorasi lithium, uranium, dan tembaga meningkat, pengeluaran untuk nikel, kobalt, dan seng justru menurun tajam.
Laporan IEA juga menambahkan bahwa pendanaan untuk perusahaan rintisan (startup) di sektor ini melambat.
Harga mineral yang rendah tidak berhasil memicu investasi baru dan juga memengaruhi proyek-proyek yang dipimpin oleh pemain baru di pasar.
Laporan pun mengungkapkan diversifikasi merupakan kunci untuk keamanan energi.
Tapi alih-alih menjadi lebih beragam, pasokan mineral kritis justru menjadi lebih terkonsentrasi atau kurang beragam, terutama dalam pemurnian (refining) dan pemrosesan.
Antara tahun 2020 dan 2024, pertumbuhan dalam produksi material olahan (refined material) sangat terkonsentrasi di antara pemasok-pemasok terkemuka.
Akibatnya, fasilitas untuk memurnikan mineral makin terkumpul di sedikit lokasi atau negara di dunia. Tren konsentrasi ini sangat menonjol untuk nikel dan kobalt yang meningkatkan risiko terhadap keamanan pasokan global.
Dunia pun menjadi semakin bergantung pada segelintir negara terutama Indonesia untuk nikel dan China untuk beberapa pasokan mineral kritis yang sudah dimurnikan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya