ADA pesan sunyi dari timur Indonesia yang sepatutnya kita dengar: Raja Ampat. Gugusan pulau yang kerap disebut sebagai surga dunia itu kini terancam oleh ekspansi tambang nikel.
Padahal, Raja Ampat bukan sekadar wilayah geografis; ia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia sekaligus cermin keharmonisan manusia dan alam.
Sebagai warga yang tinggal di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)—yang 96 persen wilayahnya adalah lautan—saya merasa pesan ini sangat relevan.
Kepri dan Raja Ampat memiliki kemiripan: ribuan pulau kecil yang indah, rapuh, dan sering kali hanya dilihat sebagai “sumber daya” yang bisa dieksploitasi, bukan ruang hidup yang harus dijaga.
Kepri merupakan salah satu provinsi dengan garis pantai terpanjang dan jumlah pulau terbanyak di Indonesia: 2.408 pulau besar dan kecil.
Namun, banyak dari pulau-pulau ini kini menghadapi tekanan dari model pembangunan ekstraktif—khususnya tambang pasir, kuarsa, dan bauksit.
Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik
WALHI Kepri (2022) mencatat lebih dari 60 lubang tambang ilegal yang menganga di Bintan, belum direklamasi, merusak pesisir, dan menimbulkan abrasi serius.
Aktivitas tambang pasir laut juga menurunkan hasil tangkapan nelayan hingga 30 persen dalam lima tahun terakhir.
Di Pulau Bintan, bahkan beberapa pemukiman pesisir telah terdampak langsung oleh abrasi akibat tambang.
Lebih dari sekadar seruan moral, larangan aktivitas tambang di pulau kecil (rentan) juga telah ditegaskan secara hukum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 dengan jelas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km persegi, apabila merusak daya dukung lingkungan dan mengganggu ekosistem pesisir.
Ketentuan ini berlaku secara nasional dan seharusnya menjadi pijakan semua kepala daerah, termasuk di Kepri.
Kita tahu betul siapa yang seringkali paling diuntungkan: bukan nelayan, bukan masyarakat pulau. Melainkan mereka yang mengantongi izin dan akses kuasa (oligarki).
Ironisnya, Kepri justru menyimpan potensi ekonomi jauh lebih berkelanjutan melalui pariwisata bahari.
Sebelum pandemi, Kepri menempati urutan ketiga terbanyak kunjungan wisatawan mancanegara setelah Bali dan Jakarta.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya